Sunday, December 23, 2007

Jatuh lagi...Jatuh lagi...!

Sedikit berubah haluan dalam tulisan kali ini, tak salah kita selalu mengikuti perkembangan menuju “kedewasaan” bernegara, berbangsa dan berdemokrasi negeri kita. Pameo, “jangan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali”, sepertinya sudah tak lagi di indahkan para pemegang kekuasaan di negeri ini, baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Prinsip Trias Politika yang begitu “masyhur” dan luhur, sebagaimana di ciptakan dalam perenungan panjang sang pencetusnya, hanya akan menjadi manuskrip usang yang dianggap ketinggalan zaman atau hanya menjadi deretan daftar panjang teori yang harus di kuasai siapa pun pemegang kekuasaan suatu pemerintahan di suatu negara, dan tentu tak ketinggalan, Indonesia salah satunya. Sungguh pun dalam hati kecil ini, tak akan rela labeling urakan itu di sandang negeri indah ini, Namun, apa daya...!

Akhir-akhir ini yang sangat santer menjadi Hot issue dalam kancah demokratisasi negeri ini adalah Keputusan MA tentang Pelaksanaan ulang PILKADA Sulsel di beberapa daerah pemilihan. Merujuk ke beberapa referensi aturan mengenai PILKADA, kompetensi dari pada lembaga tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman di negeri ini, yaitu MA memiliki wewenang menyelesaikan sengketa PILKADA sebatas pada permasalahan Perolehan penghitungan suara. Jika ada salah penghitungan, yach monggo di hitung ulang saja. Beres khan Bung...? apa musti saya belikan kalkulator canggih “PIPO LONDO” (istilah kalkulator ini yang selalu dijadikan bahan sentilan Ibunda guru pengajar Matematika di SMP dulu saya sekolah, karena hanya bisa di gunakan untuk operasi-operasi :Ping Poro lan Sudo, artinya kurang lebih Kali, bagi dan kurang, sementara untuk memenuhi kebutuhan operasi pelajaran matematika saat itu sudah menuntut Kalkulator yang bisa mengoperasikan Cos, Sin, Tan, dan beberapa operasi lain, anda sudah tentu faham maksud saya kan) Mungkin akan muncul pertanyaan selanjutnya, mengapa demikian? Mengapa tidak diberi kompetensi lebih dari sekedar persoalan penghitungan suara saja. Sangat tergesa-gesa ketika kita langsung melontarkan statement, bahwa penyusun/pembuat peraturan sangat tidak memberikan kebebasan luas terhadap penegak keadilan...Hmm...Begitukah? Namun, pernahkah kita semua membayangkan betapa sebuah petaka mungkin sudah mengintip di depan mata kita semua melihat putaran perjalanan proses penegakan hukum di negeri ini. Dalam hal ini saya memiliki sudut pandang yang mengerucut dengan para ahli Tata negara di negeri ini, bahwasanya penyusun/pembuat peraturan sangat faham betul mengapa kewenangan MA hanya sebatas pada perolehan penghitungan suara, tidak lebih. Dan tentu ini harus menjadi kata sepakat kita semua.

Belum lagi pertanyaan lain muncul, sejarah membuktikan maha karyanya. Sebut kasus PILKADA DEPOK. Mengingat sedikit, bahwa Presedent seperti Kasus PILKADA Depok tersebut, MA akhirnya dengan legowo menganulir keputusannya. Dan akankah presedent itu akan terulang lagi dalam PILKADA Sulsel ini?? Note : Presedent adalah terhadap kasus yang sama diberlakukan aturan yang sama, kurang lebih seperti itu.

Perenungan itu sampai pada, Pertama, merujuk beberapa peraturan terkait PILKADA, MA telah salah dalam menerapkan hukum. Keputusan MA tentang pengulangan PILKADA di beberapa daerah yang dianggap ada kecurangan, dalam konteks kewenangan yang di atur peraturan jelas di luar kewenangan MA. Kedua, Keputusan MA ini pun juga telah memicu gelombang demonstrasi masyarakat Sulawesi Selatan. Dan yang mengkhawatirkan, jika Presedent ini diterapkan dalam Pilpres, Pilleg, dapat kita bayangkan apa akibatnya? Perang saudara yang berdarah-darah mungkin akan menghiasi ornament bingkai lukisan kehidupan demokrasi negeri ini. Mengenai biaya jangan tanya! Sudah tentu akan membengkakkan APBN/APBD yang harusnya bisa lebih bermanfaat menyelesaikan persoalan pelik lain negeri ini. Dan yang tak dapat diprediksi adalah pertikaian yang mungkin akan menjadi hiburan ketidakpecusan pemerintah mengelola negeri ini.

Sekali lagi, Bapak dan Ibu para penguasa negeri ini...kemanakah larinya pelajaran-pelajaran moral, akan kebajikan, keteladanan, kepemimpinan ala Indonesia, atau peribahasa jawa - Ing ngarso sung tulodho ing madya mangunkarso tut wuri handayani- itu kini? Yang begitu terngiang-ngiang bahkan mungkin sudah membuat rasa nasionalisme saya mencapai level tertinggi saat pelajaran PMP/PPKN dulu. Tentu kurikulum ini dibuat bukan tanpa maksud, sebagai rakyat, saat itu saya merasakan betapa result pelajaran itu mampu mencetak warga dengan nasionalisme buta yang terbungkus orde baru, dan seiring perjalanan kenegaraan negeri ini hal-hal berbau orde baru tergantikan dengan prinsip-prinsip reformasi. Lagi-lagi, kemanakah semua memori itu tersimpan wahai Bapak dan Ibu penguasa negeri ini? Atau saat semangat-semangatnya ayahanda dan Ibunda guru pengajar PMP/PPKN sedang asyik mengisahkan jiwa dan semangat berkorban para pahlawan kemerdekaan melawan penjajah, anda semua terbuai dalam tidur siang yang nyenyak sambil menunggu lonceng pertanda pelajaran sekolah usai dan panggilan perut yang selalu melawan tuannya untuk menahan lapar? Kelantangan suara akan kepekaan, kesensitifan dalam hidup bernegara dan berbangsa ini patutnya untuk terus di tumbuh kembangkan. Anda tahu, cobalah anda suarakan hingga gaungnya menyebar di seantero negeri ini. Meski kadang betapa kecil suara rintihan anak-anak pelosok negeri ini yang masih menunggu secercah harapan bisa menikmati kebebasan mengenyam pendidikan layaknya teman-teman seusia mereka di belahan lain bumi pertiwi ini. Hingga saya, anda dan kita semua pun mampu menangkap sinya-sinyal suara yang mulai mengecil terdengar di telinga. Masihkah anda tak peduli? Buka mata-buka telinga. Tak lagi aku akan diam, kita akan diam, bukan lagi mencemooh tanpa etika, santun dalam menyampaikan selalu harus kita kedepankan tanpa mengurangi kelantangan dalam bersikap.

Saturday, December 22, 2007

Diary 3

Pertanyaan yang pertama muncul adalah, mengapa ketika datang sebuah masalah, justru membuat seseorang “dituntut” menjadi lebih sedikit produktif dari kesehariannya. Fenomena paradoks, namun hal yang seharusnya menjadi pelajaran tersendiri buat kita semua. Semua ada masanya, itu point pelajaran moral yang saya dapat! Hanya saja, bagaimana jika si empunya masalah menjadi tidak keluar, science of humanism-nya? Bukankah masalah justru malah membuat “gawat” keadaaan, artinya hal ini akan berkebalikan dari pertanyaan awal saya di atas. Hidup...Hidup, selalu penuh warna dan pesona. Mampukah kita bersikap bijak dan arif...?

Cinta pun memiliki karakter yang sama dari banyaknya warna di kehidupan ini. Jika dengan cinta, seseorang mampu melakukan hal di luar “kemampuan” logika seseorang, namun cinta juga mampu membunuh “karakter”, seseorang. Mungkin dari awalnya pemurung jadi pribadi periang, dari pribadi tertutup menjadi pribadi terbuka yang mampu menampung segala keluh, yach begitulah Cinta telah menempati porsi terbesar, namun tak terwujud dalam diri manusia.

Bagaimana anda mampu membaca tak sekedar kalimat yang terangkai, tapi lebih ke pesan yang tersembunyi di balik sang pencetus untaian buah pikir berikut?

Telah ku tawan cintaku pada sudut ruangan yang kedap suara
Hingga tak lagi terdengar nyanyian rindu pada sang kekasih
Pun tak tersisa sedikit saja celah hingga nafas kemerdekaan itu mampu menerobos membelai lembut wajah ayunya yang mulai layu
Sungguh terlalu memang!
Namun apa daya, hanya itu kebijakan yang harus di tempuh
Kejam namun pengekangan yang cukup realis

Maafkan aku cinta

Bagitu spontan kurasa ide seperti itu muncul dalam banyaknya waktu yang kita punya. Dari satu tema ke tema lain. Sebenarnya anda pun bisa melakukan hal di luar kaidah ilmiah yang pakem dari setiap disiplin ilmu. Saya menyebutnya “Pujangga Teri”( bukan bearti saya menganggap bdg kesusastraan rendah, justru krn tingginga derajat keilmuan ini, sangat tdk pantas gelar pujangga ini saya pakai, dan memang saya bukan pujangga, hanya mengikuti apa yang mungkin tidak kalah bedanya dengan kerjaan seorang pujangga) sebuah nilai kebebasan berekspresi dari kondisi yang tercipta saat itu, menit itu dan detik itu.

Cinta telah kutabur, bersemi sungguh indah tak terperi
Namun, dengan cinta juga telah kumatikan perkembangbiakannya
Sebuah hitung-hitungan tak masuk di akal pedagang, siapa yang mau impas?
Tapi itu jauh lebih baik sebelum kerugian jatuh menimpanya
Akan lebih sakit kurasa!

Bagaimana mungkin kisah pecinta demikian sahdu menyayat hati?
Mungkinkah sang pecinta hanya mengisahkan dirinya dalam dunia imaginernya?
Hingga kalkulasi matematis pun tak mampu menerka seberapa real nominal cintanya?

Sebuah kemisterian cinta pun menjadi jawab atas teka-teki semua itu
Tak pernah ada cinta dari kekasih yang didampa
Tak pernah ada perhitungan seberapa real cinta itu dalam kalkulasi matematis
Tak ada setumpuk keberanian sebagaimana ada dalam kisah-kisah sang pejuang cinta yang rela menembus gelapnya malam dan rindangnya hutan untuk menemui cintanya
Lagi-lagi hampa tanpa batas akhir nafas kemerdekaan itu akan bisa diraihnya
Yang ada hanya sebuah kepasrahan tanpa kemauan untuk berbuat lebih

Namun satu yang tetap memberikannya kekuatan
Begitu adilnya Tuhan ciptakan sesuatu lengkap dengan stel pasangannya
Lagi-lagi misteri itu tak satu pun mampu mengungkap
Dengan kebesaran-Nya, kelak ketika sang bayu mampu menerobos celah-celah dinding keegoisan itu
Sebuah nafas kemerdekaan pun disandangnya
Meraih nafas kehidupan dengan apa yang banyak orang sebut “CINTA”

Kalau kita bahas dari kaidah ilmiah kesusatraan tentu buah pikir di atas, sudah sangat anomali dari kaidah pakemnya. Begitu bebas, menerjang rumus-rumus canggih yang telah di susun sedemikian rumit dan payahnya oleh para pujangga di blantika sastrawan-sastrawati hebat negeri ini. Nakal, tapi berani bereskpresi untuk menguak sedikit kejujuran hati. Bukankah ini jauh lebih positif kurasa? Lagi-lagi berlandas atas argumentatif mengasah kemampuan permainan emosional dengan kecocokan dalam diksi yang akan dipasangkan dalam kalimat. Bukan begitu? Jika kita mulai jujur dengan kehidupan ini, sungguh akan anda temukan sebuah keajaiban TUHAN dengan segala ciptaanNya. Dia telah menciptakan saya, anda dan kita semua dengan keanekaragaman cetakan yang berbeda untuk bersama menorehkan prestasi terbaik dalam ornament kehidupan yang begitu sementara ini. Dari kata dasar cinta, akan berkembang ke religi, atau Humanis mungkin. Tak pernah habis ide ketika coba terus kita asah dengan sebuah keberanian berexperimental...^_^

Dengan cinta aku bisa mengenalnya
Dengan cinta aku paksa untuk melupakan dan menghilangkannya

Mungkin akan ada kisah selanjutnya dari episode ini...?
Hanya waktu yang akan meng-endingkan dari skenario mozaik-mozaik anak manusia ini
Di tangan sang sutradara Maha handal dan Maha Dahsyat
Tuhan, aku bersimpuh di kaki-Mu...
Berikan yang terbaik dari Sisi-Mu
Khusus untuk-ku...

Wednesday, December 5, 2007

Seberapa pintarkah manusia?

Jika anda menyaksikan tayangan berita Nuansa Pagi Seputar Indonesia di salah satu televisi swasta nasional, Rabu, 05 Desember 2007, kita manusia ternyata tidak sepintar dugaan kita dan setajam dalam hal ingatan.

Di kyoto, Jepang, dilakukan sebuah eksperimen antara manusia dan simpanse. Uji ini dilakukan dengan metode game di komputer. Simpanse dan beberapa mahasiswa yang ikut dalam eksperimen itu, akan disuguhkan sebuah game berupa angka-angka yang di acak urutannya dan ditutup angkanya setelah sekilas ditampilkan. Dalam pengurutan angka acak dan angka yang ditutup tersebut, alhasil simpanse lebih cepat dan lebih kuat mengingat urutan angka acak tersebut dalam menyelesaikan game. Jadi, masihkah manusia merasa paling pintar dan pemilik ingatan terkuat? Ternyata, we are nothing!

Simpanse yang ikut eksperimen tersebut adalah sipanse yang telah di latih khusus mengenal angka selama 6 (enam) bulan. Bagaimana dengan manusia yang tentu lebih lama dalam mengenyam pendidikan? Jadi, apakah masih kita merasa makhluk yang “terpintar” dan “pemilik ingatan paling tajam?”. Kalau pun Tuhan memberika anugerah kepada manusia sebagai makhluk yang paling Sempurna, bukan lantas kita menjadi manusia yang “sok”bukan?, karena dalam hal tertentu makhluk lain lebih unggul, sebut dalam hal ini simpanse...Hem!

Tuesday, December 4, 2007

Buka Mata! ini Nyata! Hanya di Indonesia

Sampah...sampah...sampah! Sampah adalah semua benda yang dibuang karena dianggap sudah tidak layak digunakan, dan identik dengan bau yang tidak sedap. Buka mata, ini nyata, hanya terjadi di Indonesia, bagi sebagian orang, sampah adalah ”harta karun”, bahkan tambang emas yang tiada habisnya bagi pemulung.

Fenomena sungai menjadi bak sampah panjang bukan lagi hal baru terjadi di negeri ini. Sebut Prayitno, seorang pemulung yang menunggui sungai Ciliwung, Jakarta, telah melakoni profesinya selama 10 tahun. Tiap harinya ia memerlukan waktu 10 jam untuk bisa mengantongi uang Rp. 15 ribu, dari hasil penjualan sampah-sampah plastik yang berhasil diburunya. Jangan anggap sepele, untuk bisa mendapatkan uang sebesar itu, Prayitno membutuhkan konsentrasi tinggi, jika tidak, maka sampah yg diincarnya akan lolos dari jaring yang dipasangnya. Namun jangan khawatir, sampah-sampah tadi akan tertahan di pintu air manggarai. Di situlah beraneka ragam sampah bertemu dari berbagai aliran sungai. Sebut saja : kasur, kursi, bantal, sandal atau alat-alat kebutuhan sehari-hari yang begitu akrab di sekitar kita, lengkap bisa ditemui di pintu air Manggarai, Jakarta Timur. Buka mata, ini nyata, hanya di Indonesia.

Jika Prayitno memburu harta karun di Ciliwung dengan penjaring, lain lagi dengan pemulung lain yang memburu harta dengan alat penarik logam/besi. Dengan berbekal perahu kayu sederhana, sebut “T” berlayar di sungai ciliwung dan cukup menenggelamkan alat penarik logam itu ke dasar sungai, ia mampu mendapatkan : paku, sendok, garpu, atau logam/besi lain yang dapat di jual dan mendatangkan uang. Sehari saja “T” mampu mendapatkan Rp. 30 rb.

Gambaran di atas, tentu bagi sebagian ini adalah surga yang mendatangkan uang. Buka Mata! Ini Nyata! Hanya di Indonesia. Meski setiap hari sampah-sampah itu diangkut tetap saja menumpuk. Jika terjadi banjir, jangan hanya kita menuding pintu air tapaklampah di depok, jika manggarai saja sudah tidak mampu menjadi penyokong Jakarta tidak banjir.

Efect domino yang serba sulit dicari sisi terbaik solusinya. Jika bisa dari yang terkecil kita mulai saat ini, detik ini, mengapa harus menunggu banjir memenuhi rumah-rumah kita? Sudah saatnya juga pemerintah sebagai pengambil kebijakan melakukan tugasnya sebagai public service dengan baik. Musim penghujan mulai datang. Banjir mulai menghantui sebagian besar warga ibukota. Jangan tunggu lagi menunggu banjir itu datang! Karena begitu sudah begitu banyak permasalahan yang dewasa ini dihadapi warga ibukota, dari kemacetan akibat proyek busway yang tak kunjung usai.

Buang sampah pada tempatnya! Produktif dan Tetap berkarya, karena rezeki itu bisa datang dari berbagai pintu.

Save My Earth!

Sunday, December 2, 2007

Apa sich Perubahan Iklim {Climate Change} itu ..?

Pada hari ini, Senin, 3 Desember 2007, telah dibuka konferensi Perubahan Iklim “Climate Change” di Nusa Dua, Bali yang diikuti hampir 181 Negara di seluruh dunia. Pertanyaan yang selanjutnya muncul, mengapa harus Indonesia dan Bali yang lebih khusus dipilih? Selalu tidak lepas dari hitung-hitungan nilai ekomonis, baik dari segi pariwisata atau yang lebih dan jangan sampai hal ini terjadi adalah bangsa ini terlalu rendah menilai dirinya untuk mendukung sebuah konferensi tingkat Internasional ini. Konferensi ini dipastikan akan dihadiri 10.000 ribu orang. Konferensi ini diadakan dalam rangka guna mensinergiskan negara-negara di dunia sebelum berakhirnya Protokol kyoto tahun 2012. Meskipun dalam konferensi ini tidak akan dihasilkan traktat, namun diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan dalam beberapa hal seperti, mekanisme pengurangan emisi, adaptasi perubahan Iklim, pendanaan pengurangan emisi karbon dan alih teknologi yang ramah lingkungan.

Namun yang harus mendapat perhatian lebih adalah apa dan bagaimana kita harus menjadi tahu dan lebih terpahamkan lagi tentang Fenomena Perubahan Iklim global ini. Sebagai dampak yang langsung terasa tentu adalah adanya perubahan iklim di bumi ini yang makin hari makin terasa. Penyebab pemanasan global adalah efek dari gas rumah kaca, eits..!bukan lantas sebuah rumah kaca akan mengeluarkan gas loh...! Efek gas rumah kaca adalah kumpulan gas di atmosfer yang mampu menyerap panas matahari, sehingga suhu di bumi menjadi hangat. Gas ini dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti pembakaran minyak bumi, bensin, pemakaian spray baik berupa spray untuk rambut, minyak wangi, atau pemakaian alat-alat yang mendukung keseharian kita seperti kulkas, AC atau karena aktifitas lain yang dapat menghasilkan gas karbon. Efek ini telah meningkatkan suhu di permukaan buminya, berkisar 1-5 derajat celcius dan hal ini dapat menjadi katalis/pemicu pencairan es di kutub yang mengakibatkan permukaan air lau terus naik. Bahkan diprediksi tahun 2100 permukaan air laut akan naik setinggi 90 cm.

Penyumbang terbesar dalam pemanasan global ini adalah pembakaran kendaraan bermotor atau pembakaran dari aktifitas pabrik-pabrik. Dapatkah anda membayangkan jika disumsikan 1 liter Bensin menghasilkan Karbon oksida 15 kg, dan jika perhari ada 40.000.000 kendaraan maka perhari akan menyumbang karbon oksida 60 ton/hr. Sungguh mengerikan, untuk sebuah warisan bagi anak cucu kita kelak.

Selain dampak yang langsung terlihat kasat mata, ada sesungguhnya dampak yang secara runut dapat kita perhatikan, yaitu kemiskinan. Perubahan Iklim dapat sebabkan kemiskinan, bagaimana tidak. Fenomena kekeringan atau banjir/tanah longsor akibat hutan-hutan yang gundul telah menyebabkan petan mengalami gagal panen. Atau para nelayan yang urung melaut karena gelombang yang tidak bersahabat? Mengingat hampir mayoritas mata pencaharian penduduk negeri ini adalah sebagai petani dan nelayan. Sungguh dampak pemanasan global ini turut menimbulkan kerugian ekonomi yg menyebabkan kemiskian. Dari data yang dapat saya tunjukkan dari tayangan di Seputar Indonesia, senin, 3 Desember 2007, tercatat di P. Jawa, gagal panen dengan penyebab kekeringan mencapai 4 juta 100 ribu Ha, dan akibat banjir 4 juta 300 ribu Ha. Sementara angka statistik masih dari sumber Seputar Indonesia, tahun 2006 angka kemiskinan mencapai 39.30 juta dari penduduk Indonesia kurang lebih 200 juta, dan tahun 2007 kemiskinan mencapai 37,17 juta. Meskipun adanya pengurangan angka kemiskinan, namun dari segi upah buruh tani tidak meningkat dan pengangguran meningkat akibat gagal panen. Memang secara kasat mata terlalu sulit membuat sebuah korelasi/ hubungan sebab akibat antara variabel gagal panen dan fenomena pemanasan global yang menghasilkan statistik angka-angka kemiskinan. Bagaimana banjir di jakarta beberapa hari yang lalu, menyebabkan banyak orang kehilangan hartanya bahkan nasi uduk yang harusnya mampu disantap bersama pun menjadi tidak bisa lagi di lakukan. Bagaimana cuaca dengan drastis dapat berganti dengan tanpa kompromi, jika sehari cuaca jakarta bisa sangat terik (panas) bisa jadi besoknya atau bahkan masih dalam hari yang sama akan dapat turun hujan dengan sangat derasnya yang menyebabka air “melimpah” di mana-mana. Sungguh alam tak lagi bersahabat dengan kita karena ulah tangan-tangan jahil kita!

Begitulah alam senantiasa akan memberikan sebuah reaksi atas setiap aksi dari manusia sebagai pelaku di atas muka bumi ini. Sebagaimana dalam hukum fisika, ada aksi-reaksi.


Wallahu'alam