Sunday, April 13, 2008

Senandung Sore di Lapak Salak Pondok

Rutinitas di tiap hari sabtu siang saya adalah mengaji. Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini tidak ada yang istimewa. Saya memulai perjalanan dari kantor (karena harus lembur) di Jakarta Pusat menuju daerah Ciputat memerlukan waktu kurang lebih 2 jam (laiknya perjalanan Jkt-Bdg yach?...). Apalagi proyek mercusuar yang bernuansa politis Flyover di sana yang cukup menggelisahkan para penggunan jalan (dlm jarak 100 meter bisa jadi roda kendaraan hanya bergerak merayap dengan durasi waktu hampir 1 jam, buat hati meronta bukan? FYI, bawalah selalu buku bacaan untuk meredam gejolak ketidaksabaran ini).

Hari ini, sabtu 12 April 2008 cuaca jakarta memang berawan. Ditandai paginya sempat gerimis mengundang, tapi tidak berlangsung lama. Saya akan berasumsi, hujan sudah tidak akan datang lagi di sore hari. Asumsi tinggal retorika tersimpan di wacana pemikiran, karena baru menginjakkan kaki di Ciputat, saya terjebak hujan yang sejak dari lebak bulus mengintai untuk memuntahkan kandungan air yang sudah tak tertahan. Lumayan lebat kali ini muntahan airnya.

Keterjebakan yang sebenarnya cukup membuat hati sedikit kesal. Apalagi ditambah kondisi geografis area pasar Ciputat yang tidak beraturan alias “semrawut”akibat proyek politis sang penguasa wilayah ini. Saat hujan turun itu, saya terpaksa harus bertahan tepat di samping lapak seorang pedagang salak pondok di pasar Ciputat. Karena tidak mungkin menerjang/melawan hujan untuk bisa segera sampai di tempat tujuan.

Kondisi lapak dan sekitarnya dibuat “heboh” dengan hujan yang turun tanpa konfirmasi terlebih dahulu, membuat sebagian lapak harus rela terguyur hujan dan bahkan mengenai barang dagangannya. Si abang dimana tepat saya berdiri menumpang berteduh, sepertinya melihat gelagat saya yang was-was dengan kondisi baju dan sepatu yang takut basah kena air yang mengguyur lapak dengan cukup deras, dengan sedikit ragu akhirnya saya meminta ijin duduk di lapak tempat dia berjualan. Persis di samping Jeruk Bali dan Salak Pondok jualan si abang (duuh...maaf yach bang, terpaksa, loh???hee..khan udah ijin).

Sang abang pun berusaha sekeras mungkin agar air yang tertampung di atas terpal pelindung lapaknya karena semakin memberati terpalnya untuk ditumpahkan ke tanah tidak sampai kena saya, dan sangat hati-hati...-duh baik skalie abang penjual Salak pondok ini-. Berkali kali hal ini dilakukan sampai hujan pun memihak kepada kami yang terjebak di kondisi ketidakberdayaan.

Seindah senandung sore kala itu, di bawah guyuran hujan. Sebelum akhirnya hujan reda dan saya mengucapkan terima kasih atas smua-nya. Meninggalkan lapak dan mencari ojek untuk membawa saya ke misi selanjutnya.

Berteman sejuta peristiwa dan hikmah hidup hari ini, malam mendekapku dalam perjalanan kembali ke kost-an di Jakarta Pusat sekitar pukul 22.00 WIBB (bahkan sepertinya sudah hampir lebih 30 menit). Letih beraduk dengan sejuta harta karun yang tidak terhitung, kesyukuran dan ketafakuran atas segala yang ada, hingga mengantarkan saya ke semua titik-titik dari kehidupan ini.


Ngantux juga akhirnya..^^

3 comments:

Amrie Hakim said...

nur, jangan terlalu capek. haus ilmu boleh, tapi musti inget kalau badan nur juga punya hak istirahat. kecuali memang nur sudah siap dengan segala resikonya, yang terbaik ataupun yang terburuk.

salam,

amrie

noerce said...

Trimakasih atas pengingatnya mas & do'anya slalu...^^

Hny terkadang Nuri yg terlalu "Ngoyo" slama masih bisa "dilakoni", akibat kadangkala menjadi pertimbangan kesekian, asal sudah direncanakan bisa "dilakoni"(terlalu keras kemauan juga kalie...Maafkan^^).

Jd, jangan ditiru yach, tiap org memiliki batas masing2. Memang akhirnya harus siap dgn sgala resiko dr pilihan yg diambil, smg byk2 lagi nuri bisa belajar dari mas amrie di kehidupan ini..^_^

Unknown said...

Gak dibeli tuh salak pondoknya... kasihan si abangnya dah bela-belain supaya nuri gak kebasahan :D