Wednesday, July 23, 2008

Kisah Dari Buah Tangan Seorang Asma Nadia

Hari ini, Rabu 23 Juli 2008, saat-saat paling riweh setelah kerja panjang tim kami, diumumkan di situs resmi kantor, Bapak 2 puteri ini masih saja sempat "berteriak" dari mejanya di ujung nun jauh di deretan meja kerja saya, menyuarakan ekspresi "binar" bahagia tersendiri ketika isterinya mengirim sebuah Email yang isinya akan saya bagi dengan teman-teman semua disini. Semoga bisa memberi tambahnya warna hikmah di kehidupan kita dalam menjalani hidup ini. Selamat membaca semoga memberi kesan tersendiri.

Inilah karya "dahsyat" sang penulisnya, Asma Nadia:
CINTA LAKI-LAKI BIASA > Karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa.

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
> alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru
> setelah menengok ke belakang,
> hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar,
> keheranan yang terjadi bukan semata miliknya,
> melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama,
> kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
> ternyata sama herannya.
>
> "Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan
> surat undangan.
>
> Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
> menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
> Suasana sore di kampus sepi.
> Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
>
> Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
> berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
> sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan
> di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
> Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari
> sana . Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan?
> menyadari, dia tak punya kata-kata!
>
> Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak
> jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia
> menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di
> kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
> mendadak gagap.
> Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
> menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan
> keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena
> semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
> kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta
> buntut mereka.
>
> "Kamu pasti bercanda!"
> Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
> wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
> nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
> membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
> mengira Nania bercanda.
>
> Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
> keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan
> gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
> "Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak,
> apa
> lucunya jika Rafli memang melamarnya.
>
> "Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas,
> "Papa hanya
> tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang
> paling cantik!"
>
> Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
> barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak
> sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang
> mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
> seleidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang
> duduk layaknya pesakitan.
>
> "Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ?" Mama
> mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan
> nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa
> saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya
> tidak harus iya, toh?"
>
> Nania terkesima.
> "Kenapa?"
>
> Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
> Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai
> dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga
> juara debat bahasa Inggris, juara baca
> puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
> Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih
> gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa.
> Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
> manapun yang kamu mau!
>
> Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia
> kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub
> dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
> 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
>
> "Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan
> airmata
> mengambang di kelopak.
> Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak
> suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli.
> Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
>
> "Tapi kenapa?"
> Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
> dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
> pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.
>
> Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
> matanya. "Tak ada yang bisa dilihat pada dia,
> Nania!"
>
> Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
> ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan
> seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
> tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
> seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
>
> Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
> membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
> tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak
> punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
> tampak 'luar biasa'.
> Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang
> telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
> duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli.
> Di sampingnya Nania bahagia.
>
> Mereka akhirnya menikah.
>
> ***
>
> Setahun pernikahan.
>
> Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih
> sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa
> sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
> Nania masih belum mampu juga menjelaskan
> kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
>
> Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,
> begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari
> sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara
> dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat
> perempuan itu sangat bahagia.
> "Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta
> Rafli pada Nania."
>
> Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
> Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata
> mereka terlihat tak percaya.
> "Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis
> secantikmu!"
> "Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
> pintar!"
> "Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya
> kehidupan sukses!"
>
> Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
> Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak
> boleh meremehkan Rafli.
> Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu
> argumen.
>
> Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
> Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ?
> Rafli juga pintar!
> Tidak sepintarmu, Nania.
> Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
> Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
>
> Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan
> kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
> mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
> "Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses,
> mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
> menghidupimu. "
>
> Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.
> Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi
> punya anak.
> Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak
> juga berhenti.
> Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak,
> satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan.
> Rafli bekerja lebih rajin setelah
> mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu
> sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
>
> "Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania
> memintanya
> untuk tidak terlalu memforsir diri.
> "Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan
> dengan gaji Abang."
>
> Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi
> dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa
> besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
> "Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga.
> Ya?"
>
> Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan
> lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik
> menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
>
> Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
>
> Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
> keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan
> biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
> amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
> Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
> penting.
>
> Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di
> kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah,
> rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
> Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan
> itu berada di puncak!
>
> Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
> melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di
> kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik
> saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
>
> Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
> Cantik ya? dan kaya!
> Tak imbang!
>
> Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang
> pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek
> tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
> bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
>
> Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum
> bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania
> mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu
> itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau
> membuat Nania menangis.
>
> ***
>
> Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah
> lewat dua minggu dari waktunya.
> "Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua,
> Nania. Harus segera dikeluarkan! "
>
> Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
> sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan
> menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan
> itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya
> normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera
> melihat si kecil.
>
> Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di
> rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu
> meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
> menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara
> kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang
> datang.
>
> Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan
> jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan
> tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan
> melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu
> tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
>
> "Baru pembukaan satu."
> "Belum ada perubahan, Bu."
> "Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster
> empat
> jam kemudian menyemaikan harapan.
>
> "Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
> Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster
> terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang
> tinggi.
>
> Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
> Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah,
> mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu
> kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
> Perkiraan mereka meleset.
>
> "Masih pembukaan dua, Pak!"
> Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur
> karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi
> ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin
> payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
>
> "Bang?"
> Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
> memperjuangkan dua kehidupan.
>
> "Dokter?"
> "Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali
> pusar."
>
> Mungkin?
> Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi
> kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
> Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir
> kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan
> genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.
> Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
>
> Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba
> putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia
> tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu.
> Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
> perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
> Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan
> itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
> dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum
> kemudian dia tak sadarkan
> diri.
>
> Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa
> menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan
> zikir.
>
> Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
> mendekat.
> "Pendarahan hebat."
> Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap,
> berwarna merah.
> Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan
> entah bagaimana pecah!
>
> Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
> Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu
> lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak,
> sambil menenangkan orangtua mereka.
>
> Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
> Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas
> yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya
> dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat
> seperti kanker.
> Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
>
> ***
>
> Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
> bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus
> membagi perhatian bagi Nania dan juga
> anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si
> kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat
> kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai
> empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
>
> Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
> menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke
> rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak
> banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga
> Nania dengan Rafli.
>
> Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
> meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat
> anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat
> Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
> dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
>
> Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
> Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat
> telinga Nania yang terbaring di ruang ICU.
> Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
> menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
> penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
> bercanda mesra.
>
> Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
> merasakan kehadirannya.
> "Nania, bangun, Cinta?"
> Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil
> mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
>
> Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
> pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih
> berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji
> dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
> Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania
> ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan.
> Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
> tak bosan-bosannya berbisik,
> "Nania, bangun, Cinta?"
>
> Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
> permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi
> soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya
> di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
> menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
> sekitarnya, bagi Rafli.
>
> Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
> merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan
> yang lain, tidak wajahnya yang lama
> tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat
> sering lupa makan.
>
> Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias
> perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening,
> serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya
> yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
>
> Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania
> sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama
> ditangkap matanya.
>
> Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
> tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya,
> mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
> airmata yang meleleh.
> Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
>
> Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
> kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah
> merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
> Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar
> anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore
> setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
> rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja
> datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan
> tahun yang sedang jatuh cinta.
>
> Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik
> sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan
> cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
> Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania
> mengatakan itu tak perlu.
> Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
>
> Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak
> kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya
> pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling
> cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata
> Rafli.
>
> Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
> jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu
> menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
> nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
> Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang
> sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
>
> Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan
> pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang
> menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli
> yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana
> kemari. Masih dengan senyum
> hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
>
> Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
> yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
> sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi
> pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh,
> semua berbisik-bisik.
>
> "Baik banget suaminya!"
> "Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
> "Nania beruntung!"
> "Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa
> adanya."
> "Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
> bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun
> tak pernah bermuka masam!"
>
> Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
> orang, Papa dan Mama.Bisik-bisik yang serupa dengungan
> dan sempat membuat Nania makin
> frustrasi, merasa tak berani, merasa?
>
> Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu
> kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap
> berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
> selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu
> kini berbeda bunyi?
>
> Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain
> basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut
> tergelak melihat kocak permainan.
>
> Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania
> menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak
> dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
> yang lebih
> dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
> berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama
> karena usia, meski karir telah direbut takdir dari
> tangannya.
>
> Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa
> dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk
> Nania.
>
> January 16, 2007 |

Dikutip, sesuai aslinya dari Email yang saya terima. ^_^

Friday, July 18, 2008

Seri Perempuan I

Pandangan Subjektif

Perempuan harus pandai, perempuan harus maju, perempuan harus berkembang, perempuan harus mampu memberikan kontribusi positif dikehidupanya, tidak ada kamus tidak bisa untuk seorang perempuan. Asal mau mencoba.

Sisi dunia bagian ini yang selalu menarik untuk dibahas dan selalu menambah tema diskusi manakala satu kata ini dimunculkan. Perempuan sekolah, perempuan bekerja, perempuan politisi, dan perempuan sebagai isteri sekaligus ibu dari anak-anak.

Tidak mudah tentu menjalani banyak peran yang ada, namun bukan juga sesuatu yang tidak mustahil dapat di lakoni peran ganda dari seorang perempuan. Tidak mengedepankan keuntungan bagi diri sendiri, akan banyak lakon yang dijalaninya untuk lebih bermanfaat terhadap orang lain, orang-orang sekitar yang dicintainya. Bukan nilai pengorbanan yang selalu dihitung dari besarannya, tapi dari secercah harap kebahagian yang akan menyungging di senyum orang-orang yang dicintainya.

Tidak terlalu berlebih untuk nilai penghargaan atas sejuta pengorbananya, dalam keadaaan lapang atau sempitnya, dalam keadaan kepayahan atau kemampuan yang ada. Sungguh terlalu mulai engkau duhai perempuan.

Perempuan Sekolah

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, penghidupan yang layak. Sebuah hak mutlak yang lahir dari sebuah keasasian pengakuan persamaan derajat sebagai sesama makhluk Tuhan, tidak ada beda dalam pandangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perempuan adalah madrasah/tempat belajar dari sebuah kehidupan baru, seorang anak/generasi penerusnya. Perempuan memiliki peran yang begitu mulia, sebuah peran yang tak mampu dinegasikan dengan disubstitusi oleh keberadaan seorang lelaki sehebat apapun. Sebuah kerjasama yang harus dijalin antara keduanya dengan cukup baik tentu.

Perempuan dengan kemampuannya mampu mengenyam pendidikan setinggi ia mampu. Kelak dengan pengetahuaanya ia mampu memajukan diri, keluarga, masyarakat dan negaranya. Perempuan yang dengan cita-cita besar saja mampu memberikan sesuatu yang besar pula. Mau ikut dalam kemajuan? Atau cukup puas dengan apa yang ada kini?


Perempuan bekerja

Tanggungjawab mencari nafkah/bekerja bukanlah kewajiban perempuan dalam kodratinya, tapi tugas mulai kali ini menjadi “Kavling Mutlak” seorang lelaki. Perempuan sebagi partners lelaki harus mampu menempatkan peran ini dengan baik, tanpa harus terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

Pelaksanaan peran ini pun bukan sesuatu yang menjadi larangan untuk dilakukan atau pelanggaran jika dipilih. Hanya dibutuhkan sedikit atau mungkin dituntut kecerdasan lebih darinya sehingga peran-perannya yang lain tidak terabaikan atau tergeser karenanya. Tidak mudah memang terlihatnya (belum terbukti statement ini oleh saya pribadi), imposible is nothing, isn’t it? If there is will, there is a way.

Perempuan Politisi

Emansipasi atas keberadaan kaum perempuan telah terbuka lebar. Kesempatan berkiprah di kancah ruang-ruang publik semakin luas. Bahkan, sebuah partai politik disyaratkan memiliki pengurus yang anggotanya 30% adalah perempuan.

Nah, bagaimana perempuan? Sudah siapkah? Kembalilah semua ini ke masing-masing dri perempuan. Kalau pun menjadi politisi, tentu sudah dengan berbagai pertimbangan. Yang penting adalah sebuah nilai faedah/kegunaan untuk seluas-luasnya, tak tertinggal adalah menimbulkan manfaat terhadap diri sang perempuan itu sendiri dalam memacu terus peningkatan keilmuaanya guna menyokong tugas yang diemban. Dengan begitu, maka tidak ada sebuah peran yang dilakoninya tanpa sebuah kesiapan yang matang darinya. Selamat berjuang perempuan.

Perempuan sebagai Isteri/Ibu dari Anak-Anak

Dari banyak peran di atas peran kali ini adalah sebuah peran yang lahir dari fitrah sejati seorang perempuan yang lahir dari kalangan manapun, tidak pandang latar belakang suku/pendidikan. Tidak perlu malu-malu, kita perempuan untuk mengekspos tugas kita ini. Tak terkecuali bagi kita yang masih single, dimana peran ini belum sempurna kita lakukan (mungkin kelak, jika saatnya tiba, selamat kepadamu wahai perempuan, kau akan menjalani tugas dengan predikat baru sebagai seorang Isteri dan Ibu dari calon anak-anakmu kelak).

Mulai dari impian memiliki pasangan sampai sederet kriteria idaman pasangan adalah hal wajar dari seorang perempuan dalam menjatuhkan pilihannya, begitu juga sang lelaki. Tak ada yang salah dari sebuah tahapan awal ini, hanya saja yang patut di luruskan dalam aksi filosofi fikiran kita adalah sebuah keinginan untuk menjadi masing-masing individu sebagaimana kriteria yang telah kita tentukan. Tidak adil rasannya sebuah tuntutan dilakukan ke salah satu pihak saja, tanpa dibarengi dengan keinginan menjadi idial sebagaimana diinginkan pihak lain. Begitulah akhirnya reaksi reversible/bolak-balik harus dijalani. Sehingga tidak perlu harus ada sebuah pembuktian rumus, “penyesalan selalu diakhir” (karena ia sudah menjadi sebuah kebenaran alamiah), karena penyesalan atas kesalahan dalam menjatuhkan palu pilihannya.

Banyaknya syarat yang ditentukan sebelum sebuah pilihan dijatuhkan harus dibarengi dengan pemahaman di alam sadar kita untuk juga menjadi sesuai apa yang telah kita syaratkan. Sehingga pernikahan adalah gerbang sakralisasi ikatan dua insan yang bertujuan secara bersama-sama membangun sebuah generasi yang lebih baik dari mereka kelak. Dengan landasan berpijak yang senantiasa terarah, bukan hanya dalam sebuah lampiasan nafsu biologis atau tataran sosial semata, jauh lebih besar dari hanya bagian kecil itu, yaitu tercapainya rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah dalam bingkai keAgunganNya.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dalam setiap tindakan dan pilihan, karena tanggung jawabnya ada dipundak sang penentu palu. Yang harus disiapkan dari awal adalah sebuah ketersedian amunisi keilmuan yang cukup sebagai cadangan energi dalam mengayuh sebuah bahtera yang baru saja dilayarkan. Semoga dengan adanya hujan badai di perjalanan, bukan lantas roboh tenggelam karenanya, namun ia akan mampu menghadapi dan mengatasi terjangan badai dengan simpanan energi yang dipunyainya.

Hanya orang yang memiliki niat besar saja mau melakukan sebuah pilihan. Resiko kecil atau besar hanya sebuah ukuran yang kadarnya sangat relatif yang tidak dapat dipatok dengan angka matematis tertentu.

Di kisahnya oleh Tiro (sekretaris kepercayaan negarawan Romawi, Cicero) dalam perannya di “IMPERIUM” dalam petikan Stenografinya antara lain sebagai berikut:

Ø Kadang-kadang, jika kita menemui jalan buntu dalam politik (tafsirkan dalam arti lebih luas juga), yang harus dilakukan adalah memulai pertempuran-memulai pertempuran, sekalipun kita tak tahu cara memenanginya, karena hanya saat pertempuran berlangsung, dan segalanya bergerak, kita bisa berharap dapat melihat jalan keluar.

Ø Jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati, karena dalam politik (tafsirkan dalam konteks sisi kehidupan yang lebih luas), pujian tidak didapatkan dengan takut-takut.

Ø Dan bukan kejeniusan yang mengantarkan manusia ke puncak. Roma penuh dengan orang jenius yang tak dikenal. Hanya ketekunan yang memungkinkan kita maju di dunia ini.

Duhai perempuan, dunia ini menanti kepakan sayap pun yang lebar-lebar. Hingga adamu terasa begitu nyata untuk sebuah aksimu.

Tuesday, July 15, 2008

Entahlah...

Sebuah tema diskusi "onlen" yang cukup menarik untuk jadi bahan pembelajaran diri. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke salah satu blog yang saya fikir "cukup" menarik minimal buat saya, dari materi muatan postingnya. Bahasan kali itu tentang posting yang mengandung atau lebih tepat disebut kategorisasi posting "personal". Semoga apa yang saya tulis ini pun tidak lantas menjadi sebuah bentuk klarifikasi yang perlu di buat beberapa episode dalam sebuah tulisan, atau memang dirasa perlu untuk itu, adalah sebagai hal lain dalam rangka eksplorasi sebuah pemikiran/sikap diri, so nop (no problem).

Saya pribadi berpandangan bahwa setiap apa yang bisa dikonsumsi oleh publik/umum baik akhirnya melalui sebuah postingan/bentuk lain, maka saya yang berpandangan bahwa si penulis/si empunya tulisan tersebut sudah berfikir akan hal apa, akibat dari apa yang ditulisnya, mengenai bernilai positif atau negatif maka biarkanlah khalayak umum yaitu pembacanya yang akan menilai. Tentu dengan sepenuh kesadaran sang penulis bahwa apa yang "bakalan" ditulis tersebut adalah sesuatu yang mungkin bisa dibagi dengan diceritakan ulang melalui sebuah tulisan. Bagaimana juga akhirnya tulisan ini akan menjadi tools sebagai salah satu kontrol sejauh mana "kebebasan" berekpresi (toh sejatinya tidak ada sebuah kebebasan yang mutlak, karena ia dibatasi oleh norma-norma sodial atau hukum dalam suatu masyarakat tertentu).

Bukan juga bermaksud menyimpulkan terhadap suatu peristiwa/kejadian yang ada ini, mungkin lebih tepatnya bagaimana kita melihat sebuah dinamika yang ada di sekitar kita dalam kacamata multidispliner yang lebih luas, tentu harus pula disertai tanggung jawab baik individu maupun secara bersama.

Memulai sesuatu dengan kesalahan jauh lebih baik dari pada tidak pernah mau memulai bukan? Asal dengan kesalahan tersebut kita mau belajar.

Wallahu'alam