Sedikit berubah haluan dalam tulisan kali ini, tak salah kita selalu mengikuti perkembangan menuju “kedewasaan” bernegara, berbangsa dan berdemokrasi negeri kita. Pameo, “jangan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kali”, sepertinya sudah tak lagi di indahkan para pemegang kekuasaan di negeri ini, baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Prinsip Trias Politika yang begitu “masyhur” dan luhur, sebagaimana di ciptakan dalam perenungan panjang sang pencetusnya, hanya akan menjadi manuskrip usang yang dianggap ketinggalan zaman atau hanya menjadi deretan daftar panjang teori yang harus di kuasai siapa pun pemegang kekuasaan suatu pemerintahan di suatu negara, dan tentu tak ketinggalan, Indonesia salah satunya. Sungguh pun dalam hati kecil ini, tak akan rela labeling urakan itu di sandang negeri indah ini, Namun, apa daya...!
Akhir-akhir ini yang sangat santer menjadi Hot issue dalam kancah demokratisasi negeri ini adalah Keputusan MA tentang Pelaksanaan ulang PILKADA Sulsel di beberapa daerah pemilihan. Merujuk ke beberapa referensi aturan mengenai PILKADA, kompetensi dari pada lembaga tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman di negeri ini, yaitu MA memiliki wewenang menyelesaikan sengketa PILKADA sebatas pada permasalahan Perolehan penghitungan suara. Jika ada salah penghitungan, yach monggo di hitung ulang saja. Beres khan Bung...? apa musti saya belikan kalkulator canggih “PIPO LONDO” (istilah kalkulator ini yang selalu dijadikan bahan sentilan Ibunda guru pengajar Matematika di SMP dulu saya sekolah, karena hanya bisa di gunakan untuk operasi-operasi :Ping Poro lan Sudo, artinya kurang lebih Kali, bagi dan kurang, sementara untuk memenuhi kebutuhan operasi pelajaran matematika saat itu sudah menuntut Kalkulator yang bisa mengoperasikan Cos, Sin, Tan, dan beberapa operasi lain, anda sudah tentu faham maksud saya kan) Mungkin akan muncul pertanyaan selanjutnya, mengapa demikian? Mengapa tidak diberi kompetensi lebih dari sekedar persoalan penghitungan suara saja. Sangat tergesa-gesa ketika kita langsung melontarkan statement, bahwa penyusun/pembuat peraturan sangat tidak memberikan kebebasan luas terhadap penegak keadilan...Hmm...Begitukah? Namun, pernahkah kita semua membayangkan betapa sebuah petaka mungkin sudah mengintip di depan mata kita semua melihat putaran perjalanan proses penegakan hukum di negeri ini. Dalam hal ini saya memiliki sudut pandang yang mengerucut dengan para ahli Tata negara di negeri ini, bahwasanya penyusun/pembuat peraturan sangat faham betul mengapa kewenangan MA hanya sebatas pada perolehan penghitungan suara, tidak lebih. Dan tentu ini harus menjadi kata sepakat kita semua.
Belum lagi pertanyaan lain muncul, sejarah membuktikan maha karyanya. Sebut kasus PILKADA DEPOK. Mengingat sedikit, bahwa Presedent seperti Kasus PILKADA Depok tersebut, MA akhirnya dengan legowo menganulir keputusannya. Dan akankah presedent itu akan terulang lagi dalam PILKADA Sulsel ini?? Note : Presedent adalah terhadap kasus yang sama diberlakukan aturan yang sama, kurang lebih seperti itu.
Perenungan itu sampai pada, Pertama, merujuk beberapa peraturan terkait PILKADA, MA telah salah dalam menerapkan hukum. Keputusan MA tentang pengulangan PILKADA di beberapa daerah yang dianggap ada kecurangan, dalam konteks kewenangan yang di atur peraturan jelas di luar kewenangan MA. Kedua, Keputusan MA ini pun juga telah memicu gelombang demonstrasi masyarakat Sulawesi Selatan. Dan yang mengkhawatirkan, jika Presedent ini diterapkan dalam Pilpres, Pilleg, dapat kita bayangkan apa akibatnya? Perang saudara yang berdarah-darah mungkin akan menghiasi ornament bingkai lukisan kehidupan demokrasi negeri ini. Mengenai biaya jangan tanya! Sudah tentu akan membengkakkan APBN/APBD yang harusnya bisa lebih bermanfaat menyelesaikan persoalan pelik lain negeri ini. Dan yang tak dapat diprediksi adalah pertikaian yang mungkin akan menjadi hiburan ketidakpecusan pemerintah mengelola negeri ini.
Sekali lagi, Bapak dan Ibu para penguasa negeri ini...kemanakah larinya pelajaran-pelajaran moral, akan kebajikan, keteladanan, kepemimpinan ala Indonesia, atau peribahasa jawa - Ing ngarso sung tulodho ing madya mangunkarso tut wuri handayani- itu kini? Yang begitu terngiang-ngiang bahkan mungkin sudah membuat rasa nasionalisme saya mencapai level tertinggi saat pelajaran PMP/PPKN dulu. Tentu kurikulum ini dibuat bukan tanpa maksud, sebagai rakyat, saat itu saya merasakan betapa result pelajaran itu mampu mencetak warga dengan nasionalisme buta yang terbungkus orde baru, dan seiring perjalanan kenegaraan negeri ini hal-hal berbau orde baru tergantikan dengan prinsip-prinsip reformasi. Lagi-lagi, kemanakah semua memori itu tersimpan wahai Bapak dan Ibu penguasa negeri ini? Atau saat semangat-semangatnya ayahanda dan Ibunda guru pengajar PMP/PPKN sedang asyik mengisahkan jiwa dan semangat berkorban para pahlawan kemerdekaan melawan penjajah, anda semua terbuai dalam tidur siang yang nyenyak sambil menunggu lonceng pertanda pelajaran sekolah usai dan panggilan perut yang selalu melawan tuannya untuk menahan lapar? Kelantangan suara akan kepekaan, kesensitifan dalam hidup bernegara dan berbangsa ini patutnya untuk terus di tumbuh kembangkan. Anda tahu, cobalah anda suarakan hingga gaungnya menyebar di seantero negeri ini. Meski kadang betapa kecil suara rintihan anak-anak pelosok negeri ini yang masih menunggu secercah harapan bisa menikmati kebebasan mengenyam pendidikan layaknya teman-teman seusia mereka di belahan lain bumi pertiwi ini. Hingga saya, anda dan kita semua pun mampu menangkap sinya-sinyal suara yang mulai mengecil terdengar di telinga. Masihkah anda tak peduli? Buka mata-buka telinga. Tak lagi aku akan diam, kita akan diam, bukan lagi mencemooh tanpa etika, santun dalam menyampaikan selalu harus kita kedepankan tanpa mengurangi kelantangan dalam bersikap.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment