Bisa jadi minggu kemarin, 06 Januari 2008 itu adalah kali terakhir sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan, tayangan “khas” dan “uniq” itu dapat saya nikmati. Mengapa? Pasti anda dan saya akan bertanya-tanya, sebagaimana saya pun telah membuncah keingintahuan tentang itu.
Anda semua tentu sudah familiar dengan tayangan parodi politik ala Indonesia satu ini, yang dapat kita saksikan jam tayangnya setiap hari minggu tepat Pk. 20.00 WIB di salah satu stasion televisi swasta di negeri ini. Bersiaplah anda, dan juga saya tidak akan menikmatinya lagi sampai kurun waktu yang belum ditentukan. Usut demi usut dari informasi yang disampaikan di sepanjang tayangan terakhir kala itu, dikarenakan orang “no.2” yang menjabat sebagai Wapres tersandung tuduhan kasus Pidana (penipuan dan penggelapan). Dan sebagai bentuk solidaritas sesama pelaku di tayangan tersebut, akhirnyalah tayangan ini akan dihentikan. Lunglai? Saya serasa kehilangan salah satu dunia hiburan saya selama ini.
Sampai saat ini saya belum menemukan tayangan edukatif lain selain satu ini yang cukup merangsang kepekaan saya dalam kehidupan ala pemerintahan sentris (sarat kebijakan, politik dan rupa-rupa dari kepemimpinan sebuah negara). Saya dapat berfantastic ria dalam frame idialnya sebuah negara demokrasi yang menjunjung sebuah kebebasan berpendapat. Bagaimana sebuah kritikan santun ala tayangan ini dikemukakan dengan khas sajian parodi yang cukup mengena sasaran saraf otak-otak kita. Tak berbelit, sederhana dan tentu sarat edukatif. Bisa dikatakan saya sangat keranjingan dengan tayangan seperti ini, dengan kadar yang masih normal dalam takaran kewajaran dan kesederhanaan pola pikir saya sebagai rakyat di sebuah negara yang terbesar kelima tingkat korupsinya di dunia ini.
Saya, anda yang mengikuti latar belakang kasusnya sampai penetapan tokoh “Wapres” di acara tersebut sebagai tersangka kasus penipuan dan penggelapan, akan banyak menggelayut sebuah teka-teki besar warisan abad Orde Baru tentang pola-pola pengngebirian sebuah kebebasan berpendapat di muka umum. Pola gerak yang terstruktur dan halus tak berbentuk cukup mencitrakan sebuah ketidakwajaran demokratisasi di negeri ini. Ring 1, ring 2 akan menjadi sasaran bidikan sniper yang siap menjalankan tugas tuannya. Tanpa banyak membuat sebuah kebiasan komunikasi dalam penyajian tulisan ini, saya hanya berharap masih ada secercah cahaya harapan baru dalam merentas jalan reformasi yang belum jua sampai selesai di batas garis finish.
Sudah menyiapkan setunpuk buku bacaaan pengganti mengisi kekosongan kekuasaan ala parodi tayangan ini??? ^_~
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment