Friday, July 18, 2008

Seri Perempuan I

Pandangan Subjektif

Perempuan harus pandai, perempuan harus maju, perempuan harus berkembang, perempuan harus mampu memberikan kontribusi positif dikehidupanya, tidak ada kamus tidak bisa untuk seorang perempuan. Asal mau mencoba.

Sisi dunia bagian ini yang selalu menarik untuk dibahas dan selalu menambah tema diskusi manakala satu kata ini dimunculkan. Perempuan sekolah, perempuan bekerja, perempuan politisi, dan perempuan sebagai isteri sekaligus ibu dari anak-anak.

Tidak mudah tentu menjalani banyak peran yang ada, namun bukan juga sesuatu yang tidak mustahil dapat di lakoni peran ganda dari seorang perempuan. Tidak mengedepankan keuntungan bagi diri sendiri, akan banyak lakon yang dijalaninya untuk lebih bermanfaat terhadap orang lain, orang-orang sekitar yang dicintainya. Bukan nilai pengorbanan yang selalu dihitung dari besarannya, tapi dari secercah harap kebahagian yang akan menyungging di senyum orang-orang yang dicintainya.

Tidak terlalu berlebih untuk nilai penghargaan atas sejuta pengorbananya, dalam keadaaan lapang atau sempitnya, dalam keadaan kepayahan atau kemampuan yang ada. Sungguh terlalu mulai engkau duhai perempuan.

Perempuan Sekolah

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, penghidupan yang layak. Sebuah hak mutlak yang lahir dari sebuah keasasian pengakuan persamaan derajat sebagai sesama makhluk Tuhan, tidak ada beda dalam pandangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perempuan adalah madrasah/tempat belajar dari sebuah kehidupan baru, seorang anak/generasi penerusnya. Perempuan memiliki peran yang begitu mulia, sebuah peran yang tak mampu dinegasikan dengan disubstitusi oleh keberadaan seorang lelaki sehebat apapun. Sebuah kerjasama yang harus dijalin antara keduanya dengan cukup baik tentu.

Perempuan dengan kemampuannya mampu mengenyam pendidikan setinggi ia mampu. Kelak dengan pengetahuaanya ia mampu memajukan diri, keluarga, masyarakat dan negaranya. Perempuan yang dengan cita-cita besar saja mampu memberikan sesuatu yang besar pula. Mau ikut dalam kemajuan? Atau cukup puas dengan apa yang ada kini?


Perempuan bekerja

Tanggungjawab mencari nafkah/bekerja bukanlah kewajiban perempuan dalam kodratinya, tapi tugas mulai kali ini menjadi “Kavling Mutlak” seorang lelaki. Perempuan sebagi partners lelaki harus mampu menempatkan peran ini dengan baik, tanpa harus terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

Pelaksanaan peran ini pun bukan sesuatu yang menjadi larangan untuk dilakukan atau pelanggaran jika dipilih. Hanya dibutuhkan sedikit atau mungkin dituntut kecerdasan lebih darinya sehingga peran-perannya yang lain tidak terabaikan atau tergeser karenanya. Tidak mudah memang terlihatnya (belum terbukti statement ini oleh saya pribadi), imposible is nothing, isn’t it? If there is will, there is a way.

Perempuan Politisi

Emansipasi atas keberadaan kaum perempuan telah terbuka lebar. Kesempatan berkiprah di kancah ruang-ruang publik semakin luas. Bahkan, sebuah partai politik disyaratkan memiliki pengurus yang anggotanya 30% adalah perempuan.

Nah, bagaimana perempuan? Sudah siapkah? Kembalilah semua ini ke masing-masing dri perempuan. Kalau pun menjadi politisi, tentu sudah dengan berbagai pertimbangan. Yang penting adalah sebuah nilai faedah/kegunaan untuk seluas-luasnya, tak tertinggal adalah menimbulkan manfaat terhadap diri sang perempuan itu sendiri dalam memacu terus peningkatan keilmuaanya guna menyokong tugas yang diemban. Dengan begitu, maka tidak ada sebuah peran yang dilakoninya tanpa sebuah kesiapan yang matang darinya. Selamat berjuang perempuan.

Perempuan sebagai Isteri/Ibu dari Anak-Anak

Dari banyak peran di atas peran kali ini adalah sebuah peran yang lahir dari fitrah sejati seorang perempuan yang lahir dari kalangan manapun, tidak pandang latar belakang suku/pendidikan. Tidak perlu malu-malu, kita perempuan untuk mengekspos tugas kita ini. Tak terkecuali bagi kita yang masih single, dimana peran ini belum sempurna kita lakukan (mungkin kelak, jika saatnya tiba, selamat kepadamu wahai perempuan, kau akan menjalani tugas dengan predikat baru sebagai seorang Isteri dan Ibu dari calon anak-anakmu kelak).

Mulai dari impian memiliki pasangan sampai sederet kriteria idaman pasangan adalah hal wajar dari seorang perempuan dalam menjatuhkan pilihannya, begitu juga sang lelaki. Tak ada yang salah dari sebuah tahapan awal ini, hanya saja yang patut di luruskan dalam aksi filosofi fikiran kita adalah sebuah keinginan untuk menjadi masing-masing individu sebagaimana kriteria yang telah kita tentukan. Tidak adil rasannya sebuah tuntutan dilakukan ke salah satu pihak saja, tanpa dibarengi dengan keinginan menjadi idial sebagaimana diinginkan pihak lain. Begitulah akhirnya reaksi reversible/bolak-balik harus dijalani. Sehingga tidak perlu harus ada sebuah pembuktian rumus, “penyesalan selalu diakhir” (karena ia sudah menjadi sebuah kebenaran alamiah), karena penyesalan atas kesalahan dalam menjatuhkan palu pilihannya.

Banyaknya syarat yang ditentukan sebelum sebuah pilihan dijatuhkan harus dibarengi dengan pemahaman di alam sadar kita untuk juga menjadi sesuai apa yang telah kita syaratkan. Sehingga pernikahan adalah gerbang sakralisasi ikatan dua insan yang bertujuan secara bersama-sama membangun sebuah generasi yang lebih baik dari mereka kelak. Dengan landasan berpijak yang senantiasa terarah, bukan hanya dalam sebuah lampiasan nafsu biologis atau tataran sosial semata, jauh lebih besar dari hanya bagian kecil itu, yaitu tercapainya rumah tangga yang sakinah mawadah wa rahmah dalam bingkai keAgunganNya.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dalam setiap tindakan dan pilihan, karena tanggung jawabnya ada dipundak sang penentu palu. Yang harus disiapkan dari awal adalah sebuah ketersedian amunisi keilmuan yang cukup sebagai cadangan energi dalam mengayuh sebuah bahtera yang baru saja dilayarkan. Semoga dengan adanya hujan badai di perjalanan, bukan lantas roboh tenggelam karenanya, namun ia akan mampu menghadapi dan mengatasi terjangan badai dengan simpanan energi yang dipunyainya.

Hanya orang yang memiliki niat besar saja mau melakukan sebuah pilihan. Resiko kecil atau besar hanya sebuah ukuran yang kadarnya sangat relatif yang tidak dapat dipatok dengan angka matematis tertentu.

Di kisahnya oleh Tiro (sekretaris kepercayaan negarawan Romawi, Cicero) dalam perannya di “IMPERIUM” dalam petikan Stenografinya antara lain sebagai berikut:

Ø Kadang-kadang, jika kita menemui jalan buntu dalam politik (tafsirkan dalam arti lebih luas juga), yang harus dilakukan adalah memulai pertempuran-memulai pertempuran, sekalipun kita tak tahu cara memenanginya, karena hanya saat pertempuran berlangsung, dan segalanya bergerak, kita bisa berharap dapat melihat jalan keluar.

Ø Jika kita harus melakukan sesuatu yang tidak populer, sebaiknya sekalian saja dilakukan dengan segenap hati, karena dalam politik (tafsirkan dalam konteks sisi kehidupan yang lebih luas), pujian tidak didapatkan dengan takut-takut.

Ø Dan bukan kejeniusan yang mengantarkan manusia ke puncak. Roma penuh dengan orang jenius yang tak dikenal. Hanya ketekunan yang memungkinkan kita maju di dunia ini.

Duhai perempuan, dunia ini menanti kepakan sayap pun yang lebar-lebar. Hingga adamu terasa begitu nyata untuk sebuah aksimu.

1 comment:

dasiLia said...

Mmmmmm...perempuan memang luar biasa, tapi bukan karena Ukie perempuan ya Ukie bilang begini :), tapi memang seperti itu kenyataannya. Perempuan juga bisa mengerjakan segala sesuatu yang dikerjakan para lelaki. Kadang perempuan tidak memerlukan segala sesuatu yang berupa materi untuk membuat mereka bahagia, tapi hanya cukup dengan melihat kebahagiaan pada wajah-wajah orang yang mereka cintai, itu merupakan kebahagiaan yang tiada duanya.... :)