Saturday, September 22, 2007

Diary 1

Jakarta, 21 September 2007

Dy...lama yach??? Tak pernah aku melibatkan dirimu untuk sekedar mendengarkan keluh kesah atau apa pun yang dulu sering aku lakukan, selagi masih di Bandung...Dy...Malu bercampur rasa bersalah yang trus menggelayut di rona muka wajah ini rasanya tak mampu kusembunyikan. Bukan lantaran sikap pengecutku yang tak mau menghadapi resiko atas tindakan cerobohku, tapi lebih malunya aku pada Robb-ku. Rasanya tak layak aku tunjukkan perbuatan ini disaat hari penempaan keimanan sungguh diuji. Namun justru aku telah melakukan sebuah kesalahan besar. Rabb, akankah ampunan-Mu itu Kau berikan padaku..

Dy, Rabu sore yang cerah ini berubah bak mendung yang siap menumpahkan curah kandungan air yang dibebannya. Airmata yang tertahan di mata dan rasa sesak di dada, serasa ingin kumuntahkan. Namun, aku harus bisa menghadapi resiko ini. Pantang mundur, sportif harus selalu dikedepankan, Salah, yach. Aku melakukan kesalahan...Maaf! Yach sebuah kata yang mungkin dapat mengembalikan semua ke keadaan semula. Namun, rasanya noktah hitam ini telah tertoreh, tentu kalau pun bisa bekas-nya tak akan mampu mengembalikannya ke keadaan sedeakala...Duh..dy, apa yang harus aku lakukan.

Sudahlah dy, ibarat nasi telah menjadi bubur. Kali ini aku hanya akan menjadikannya bubur spesial khusus dengan resep Taubat dan berniat tidak akan mengulanginya lagi, dan kubuat porsinya spesial untukku seorang. ..

Dy, maaf telah kuucapkan, namun dia tak telah sakit dan kecewa. Dia sangat marach padaku dy...rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri, telah mengusik istana kedamaian orang lain. Namun, apa daya kini...kesalahan telah tercipta...dan dia marach besar dy...aku ingin menangis saja...atas kecerobohan ini.

Dy...sampai menjelang berbuka, adzan maghrib pun sayup terdengar dari Lt. II Masjid Bimantara. Meski rasanya tak mau beranjak dari depan kompi, kupaksakan saja kakiku melangkah untuk mengambil minuman dan menyantap beberapa kue buat berbuka. Enak tak enak, bukan karena kuenya, tapi karena suasana hatiku sedang kacau. Gundah, akankah kata maaf ku ini tak berbalas darinya. Aku hanya bisa pasrah...

Waktu terus berganti...Setelah sholat berjama’ah maghrib, aku sempatkan untuk membuka mushaf dan perlahan kulantunkan Kalammullah melanjutkan tilwahku. 1 Juz telah kuselesaikan sampai menjelang kumadang adzan isya’. Sebelum beranjak dari depan kompi untuk mengambil wudlu, saya sempatkan untuk menghidupkan kembali notebook yang sudah terlanjur kumatikan. Masih menggantungnya jawaban atas maafku darinya, memaksaku untuk membuka koneksi lagi. Lagi-lagi aku hanya bisa mengulang kata maaf ini untuk kesekian kali. Dy...tahukan kamu apa reaksinya, yach...dia sangat kecewa berat dan dia hanya bisa memberikan nasihat kepadaku untuk bisa mengendalikan emosionalkku...Yach, bukan salah memang tindakannya itu, hak dia untuk memberikan maaf untukku atau kah tidak. Yang jelas, aku sangat terpukul atas jawaban dia, bawah Ramadhan ini sebenarnya dia ingin menjalani dengan ketenangan, namun aku dengan seenaknya telah mengoyak tatanan istana kedamaiannya. Sungguh...dy, bak disembelih sembilu, hatiku mati...seolah dunia runtuh menimpa diriku yang lemah ini. Yach, lagie-lagie aku hanya bisa mengucapkan maaf, tak banyak yang bisa kuperbuat selain kata ini, karena toh kesalahan telah kuperbuat. Duh dy...kenapa aku ini? Hal ini yang sempat kupertanyakan pada diriku sendiri...Makhluk apakah aku yang tidak tahu diri ini...

Hix2...dy aku ingin menangis...ibu...aku ingin menangis dipangkuanmu..berharap engkau akan menenangkanku dengan belaian dan kehangatan kasih sayangmu...namun engkau terlalu jauh untuk kujangkau, sekedar menyandarkan semua ini...ibuu...

Percakapan menjelang isya’ saat itu, tak banyak yang dieksplor...meski akhirnya maafku telah terjawab olehnya. Yach, dalam jawaban singkatnya dia bilang, “ok...dimaafin, tapi jangan diulangi lagi yah...”. Oh...tentu...tentu, batinku secara cepat dan otak segera merespon ke syaraf-syaraf tangan untuk segera menekan tombol-tombol tuts keyboard notebook ini dengan balasan, “yach...kapok, tak akan mengulangi lagi”. Alhamdulillah leganya...meski banyak hal yang musti saya mintakan alasan darinya atas marach dan kecewanya dia. Namun, percakapan ini tak bisa dilanjutkan terlalu lama, karena aku keburu pamitan untuk segera menggabungkan diri dalam jama’ah isya dan dilanjutkan dengan tarawih. Seperti biasa, setelah tarawih selesai dilaksanakan aku selalu keluar dari barisan lebih dulu, karena witirnya aku ambil tengah malam saja, sekalian melaksanakan Qiyamullail. Saat turun dari masjid inilah, hatiku terusik kembali untuk mengetahui respon kelanjutan penjelasan darinya.Namun, tidak ada juga Respon darinya...Dy...aku hampir putus asa. Yach, aku berasumsi dia masih sangat marah dan kecewa. Yach, sudahlah memank aku yang salah, aku pun harus terima hukuman ini...

Dy...aku pulang dari kantor akhirnya. Dengan tanpa keutuhan dari jawabannya yang melegakan hatiku. Saya berharap, masih diberikan usia panjang untuk esok hari. Sehingga saya dapat mendengar utuh argumentasinya. Sudahlah...Alhamdulillah dy...sangat lelah seharian ini. Ditambah lelah hati juga...(yach sejak awal saya juga telah salah, namun tak menduga akan seperti ini).

Esok harinya...engkau tahu dy, saat koneksi kubuka. Ada messages pending, darinya. Dua baris kalimat dari jawabannya, “gomen, tadi saya ke toilet” dan “assalamu’alaikum”...Hem...Saya langsung membalasnya, “iyach, gapapa”.

Hari kamis ini dy...seharian, aku berharap dapat penjelasan lebih melegakan darinya. Menjelang sore, akhirnya dia menyapaku dengan sebuah kalimat yang sedikit melagakan, “maaf yach kemarin”. Langsung dengan capet saya balas, “nur yang salah”. Yach sudahlah, dalam bathin dy...saya mengharapkan dia akan memoles kesalahan saya dengan segudang nasihat. Namun, yang terjadi justru dengan sigapnya (saya tidak tahu, benarkah tindakan saya ini ataukah justru akan memuakkan dia dengan sgala cerita yang akhirnya pun saya rangkai kalimat per kalimat). Dy...saya ceritakan kronologis asal muasal momentum tidak mengenakkan itu terjadi. Saya pun memilih untuk tidak lagie mengusik istana kedamaian yang ia punya. Sudah saatnya, kita tentukan kebahagiaan versi kita masing-masing, tanpa ada gangguan-gangguan berarti. Dia pun setuju, dengan usulan saya ini. Tahu kah kau dy...sakit sebenarnya dan sangat berat, namun demi kebaikan semua pihak, pilihan ini harus ditentukan, Tidak perlu lagi pakai ditawar. Karena kita sama-sama tahu keadaan masing-masing. Sungguh pelik sebenarnya.

Dy...hari ini, kamis saya ingin pulang cepat. Saya ingin menenangkan diri. Biar ramadhanku bisa berjalan juga dengan ketenangan dan kedamainan.
Malam itu, kuhabiskan dengan banyak membaca buku, siapa tahu saya dapat ilmu untuk menenangkan batinku yang dirundung gundah gulana. Kebiasaan yang tidak mendominasi aku lakukan di malam-malam Ramadhan, yang biasa aku habiskan dengan tilawah. Yach...kali ini saja yach dy...Tapi targetan harus tetap difokuskan.

Dy...aku temukan beberapa hal yang pas banget dengan apa yang kualami dari buku yang kubaca dan semoga bisa mnejadikan hari-hari ku kedepan bisa lebih baik lagi, amien. Mungkin dengan aku tulis seperti ini dapat menjadi pengingat aku yach dy... seperti :
a. Aku harus bisa lebih fokus lagi untuk menambah kemampuan ilmuku. Bagaimana dibuku Habiburahman El Shirazy itu diceritakan antara lain:

Ø Kisah mengharubiru yang diriwayatkan oleh Imam Bakar Bin Hamdan Al-Maruzi yang mengatakan bahwa Imam Ibnu Kharrasy pernah bercerita: “Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang berjala melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadist aku merasa kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku minum. Maka dengan terpaksa aku minum air kencingku sendiri”. Masih di buku itu dikatakan oleh penulisnya bahwa ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum air kencingnya sendiri demi menpertahankan hidupnya ketika mencari ilmu. So, aku merenung, “maka nikmat TuhanMu yang manaka yang kamu dustakan? Fasilitas manalagi yang aku rasa kurang? Selain karena keenggananku untuk terus mengais ilmu-Mu yang Maha luas. Ijinkan aku memulai Robbi...
Ø Bagaimana cerita Imam Abu Hatim yang pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan. Imam Abu Khatim mengatakan, “Ketika sedang mencari hadist kondisiku benar-benar sangat memprihatinkan. Karena tidak mampu membeli sumbu lampu, pada suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda. Dan terkadang tukang ronda itu tertidur, aku yang menggantikannya ronda.” Sementara aku??, “maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?” Deg...Rabbi, terima aku kembali dalam rengkuhan kenikmatan bersama-Mu...
Ø Pun kisah Imam Bukhari yang tidak memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya, sehingga ia terhalang dari menulis hadits. Umar bin Hafesh Al-Asyqar mengatakan,” Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari menulis Hadist di Bashrah. Setelah dicari ke mana-mana akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa. Atas dasar musyawarah kami berhasil mengumpulkan uang beberapa Dirham lalu kami belikan pakaian untuk dipakainya. Selanjutnya ia mau bersama-sama kami lagi meneruskan penulisan hadist.” Sementara aku dy...tiap hari bisa berganti baju.


Ø Lalu bagaimana penderitaan Imam Malik, yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu, beliau harus mencopot atap rumahnya, lalu menjual papannya.

Sejarah-sejarah di atas adalah nyata, bukan cerita rekaan belaka atau cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya valid, tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra dan lain sebagainya.
Penulis pun melanjutkan dengan mengutip syair seorang ulama :

Aku bertanya kepada kemiskinan.
Di manakah kamu berada?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama.
Mereka adalah saudaraku
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja.

b. Sentuhan Q.S. Al-Israa’ (memperjalankan di malam hari) 17:79
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” Alhamdulillah...dalam sujud panjangku, aku kembali merasakan ketenangan. Terimakasih Rabb, Engkau masih mau mendekatiku, saat aku mulai menjauhi-Mu. Istiqomahkan ku selalu...itu dy, pintaku.

c. Jika selama ini aku selalu mendasari tindakanku dengan kalkulasi-kalkulasi dan hitungan matematis, namun terkadang DIA memiliki rencana lain. Mungkinkah aku yang hamba ini mendahului takdirnya pada tiap diri ini??? Hal yang patut aku koreksi lagi dy...Biar kepasrahan setelah berusaha menjadi aku hamba yang Tahu diri, akan segala keterbatasan ini. Firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya segala sesuatu”

“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”

“Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan dan mematikan”

“Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan


d. Perkataan Imam Athaillah yang penulis kemukakan tentang Cinta : Tidak ada yang bisa mengusir syahwat atau kecintaan pada kesenangan duniawi selain rasa takut kepada Allah yang menggetarkan hati atau rasa rindu kepada Allah yang membuat hati merana!”
Mencintai makhluk sangat berpeluang menemui kehilangan. Kebersamaan dengan makhluk juga berpeluang mengalami perpisahan. Hanya cinta pada Allah yang tidak. Penulis menuturkan, jika mencintai seseorang ada dua kemungkinan diterima atau ditolak.Jika ditolak pasti sakit rasanya. Namun, jika kau mencintai Allah pasti diterima. Jika kau mencintai Allah, engkau tidak akan pernah merasa kehilangan. Tak akan ada yang merebut Allah yang kaucintai itu dari hatimu. Pun tak akan ada yang merampas Allah. Jika kau bermesraan dengan Allah, hidup bersama Allah, kau tidak akan pernah berpisah dengannya. Allah akan setia menyertaimu. Allah tidak akan berpisah denganmu. Kecuali kamu sendiri yang berpisah dari-Nya. Cinta yang paling membahagiakan dan menyembuhkan adalah cinta kepada Allah “Azza wa jalla”. Membaca rangkaian yang ditutur penulis, serasa aku dinasehati. Ada kesejukan yang membuat sedikit hatiku terhibur dan lega. Jiwaku perlahan mulai menemukan ketenangan. Amien, terima kasih Rabbi, Tak akan kubagi lagi cintaku untuk-Mu dengan yang lain. Akan kuletakkan porsi cinta makhluk sebagaimana kadarnya.

e. Di akhir paparan sang penulis merangkai sebuah kalimat yang sangat indah: “Bukannya aku tidak mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu. Dan bukannya aku tidak mendamba hidup bersamamu. Sungguh aku sangat ingin hidup bersamamu. Namun, tidak semua yang didamba manusia pasti diraihnya. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak mau kehilangan cinta-Nya. Aku mendamba hidup bersamamu, tapi aku lebih mendamba hidup bersama Ridha-Nya.” Telah ku pilih ini sebagai jalan-ku...

Dy...itulah beberapa hal yang dapat aku ambil hikmah dari apa yang kubaca...damai rasanya kala kita bisa menyikapi sesuatu dengan kembali kepada Sang penggenggam jiwa ini...

Kuakhiri dengan do’a :
“ Ya Allah, hamba memohon kepada-Mu permintaan terbaik, do’a terbaik, kesuksesan terbaik, ilmu terbaik, amal terbaik, pahal terbaik, kehidupan terbaik, kematian terbaik. Kuatkanlah hamba, beratkanlah timbangan kebajikan hamba, realisasikan keimanan hamba, tinggikan derajat hamba, terima shalat hamba, ampuni dosa hamba...”

“Ya Allah, karuniakan kebaikan bagi hamba dalam segala urusan, berikan pahal kepada kami dari segenap luka dunia dan siksa akhirat”

“Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepadaMu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat padaMu, dan anugerahkanlah ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan kami ke surgaMu, anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah di dunia ini.”

“Ya Allah, jangan pernah Engkau tinggalkan dosa, melainkan Engkau ampuni. Tidak ada kegalauan kecuali Engkau berikan jalan keluar, tidak ada hutang kecuali Engkau penuhi, dan tidak ada satu kebutuhan dunia dan akhirat kecuali Engkau penuhi, wahai Tuhan semesta Alam” Amin.

1 comment:

muchamad ali safa'at said...

kayaknya kamu gak perlu se-menyesal itu. Kewajiban minta maaf sudah kamu lakukan. Jangan mendzalimi diri sendiri..