Meski malam itu saya tidak mengikuti acara Kick Andy di salah satu stasion televisi swasta nasional dari awal, namun saya masih sempat mengikuti acara itu sampai selesai. Tokoh yang di angkat dalam episode kali ini sangat menarik, memesona saya, dan bahkan mengaduk emosional jiwa, membawa penonton seakan ingin ada ditengah kehidupan sang tokoh...Ahh, hanya khayal-ku semata!
Dari beberapa tokoh yang ditampilkan, mulai dari : sang tokoh yang susah mengenyam pendidikan di daerah Entikong, pun tokoh yang hanya lulusan SD namun karena tuntutan kebutuhan pendidikan di daerahnya, terpaksa harus mengajar dengan hanya berbekal tamatan SD, dan uniknya sang guru yang merangkap kepala sekolah harus mengajar 3 kelas sekaligus. Dapatkah anda membayangkan? Dalam waktu yang bersamaan harus mengajar 3 kelas? Ternyata sang guru tak kalah cerdiknya. 3 Ruangan kelas akhirnya di gabung dengan satu fokus Sang guru bisa tetap di bangku duduknya...hem, bener juga! Terkadang kecerdikan dan kegigihan muncul saat situasi dan kondisi begitu menghimpit. Meski konklusi ini tidak dapat saya dukung dengan tampilan data-data sehingga keakuratan kesimpulan itu mendekati kebenarannya.
Tokoh selanjutnya adalah sang guru yang mampu menciptakan beragam peragaan matematika, fisika dengan memanfaatkan limbah sekitar, seperti kardus, botol dan lainnya dalam mengajar. Dengan metode cerdik ini, ternyata mampu membawa para murid merasakan enjoy dengan pelajaran yang selama ini terkesana “menyeramkan”, sungguh menyenangkan bukan, kalau setiap pendidik memiliki kreatifitas dalam mentransfer keilmuannya ke para murid seperti sang guru. Dengan demikian dapat merangsang daya kreatifitas para murid atau bahkan mampu mengeksplorasi bakat dan kemampuan masing-masing peserta didik. Tentu hal ini tidak mudah, karena masih hampir sebagian besar “mind” murid berprestasi itu dari itung-itungan kalkulasi matematis, tolok ukurnya nilai yang tinggi/besar. Begitulah seharusnya kita menjadi pembelajar yg baik.
Akhir tayangan episode kali ini, dihadirkan pula sosok yang saya bingung bagaimana mencoba untuk menyebut sang tokoh. Jika sang pembuat film menyebutnya “manusia setengah dewa”, saya pun tak bisa membantahnya. Bagaimana anda dapat membayangkan dengan predikatnya sebagai Kepala Sekolah, yang harusnya berkutat dengan pulpen dan kertas, kini harus merangkap peran lain dan akrab dengan sampah-sampah. Hingga judul itu pun muncul, Kepala Sekolahku “Pemulung”. Hanya sebuah decak kagum dan simpati, kalau pinjam istilah jepang “ nattoku ikanai”(=nalarku tidak jalan). Dalam wawancara itu mengalir semua kisah keluarga sang tokoh. Dengan kondisi yang serba kekurangan, kegigihannya untuk terus mampu menjadi kepala keluarga dengan menjadi pemulung setelah pulang dari sekolah demi mencukupi kebutuhan anak dan isterinya yang sedang menderita kanker otak, cukup untuk membuat nalarku tidak jalan(nattoku ikanai). Sungguh sebuah peran, yang saya fikir tidak ada satu pun manusia, yang mau dengan kondisi seperti Sang tokoh, namun kini ia hadir dengan perannya itu. Bukan hal mudah yang dapat dukungan dari pihak sekitar termasuk sekolah, apalagi statusnya sebagai guru selayaknya bisa melakukan tambahan pelajaran ke siswanya dengan membuka les/bimbingan belajar tambahan. Alhasil, sang tokoh dengan tegas menjawab bahwa sisa waktu dari pulang sekolah itu tak cukup untuk mengembalikan konsentrasinya guna melanjutkan mengajar. Hingga akhirnya memulung sampah yang telah dilakoninya selama 15 (lima belas) tahun, cukup membuat perannya sebagai kepala keluarag menjadi sempurna (dalam hal ini tentu penghasilan yng diharapkan mampu membiayai kebutuhan keluarganya). Hal ini nampak dari pernyataan sang isteri, sebagaimana saya kutip saat mendengar penuturannya, ” saya menerima bapak apa adanya, karena dia sudah mampu menghidupi saya dan anak-anak saya meski dengan penghasilan yang tak seberapa”. Sungguh mulianya hati sang isteri, akibat kanker yang dideritanya saat ini, mata sebelahnya hampir tak bisa dipakai untuk melihat dengan normal. Begitulah, kisah kepahlawanan sejati selalu tumbuh dan hadir di saat kondisi keterbatan dan kekurangan, ketakutan serta kepasrahan setelah berusah, menjadi pernik-pernik dalam lingkup kehidupan sang pahlawan.
Potret kehidupan pahlawan tanpa tanda jasa ini seharusnya, mampu menguatkan komitmen pemerintah dalam merealisasikan APBN untuk pendidikan yang 20%, bukan hanya sekedar Kata atau NATO (No Action Talk Only). Rakyat menunggu bukti.
Satu lagi pelajaran saya dapatkan. Berangkat dari sebuah ketulusan dan kemurnian niat dari sang tokoh dengan perannya sebagai ”kepala sekolah” sekaligus ”kepala keluarga” dan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, namun dia mampu menjadi Lelaki ”hebat”, karena semua itu tak lepas dari tokoh di balik semua itu, isterinya yang menjelma menjadi sosok perempuan yang ”hebat”.
wallahu’ alam bishowab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
People should read this.
Post a Comment