Saturday, January 19, 2008

Dari Ujung Jakarta ke Tasbih


Jika kebahagian itu adalah ukuran materi yang berlimpah dan segala turunan dari itu (Fasilitas, kemapanan, dll) tidak sepenuhnya postulat ciptaan saya ini benar adanya. Akan banyak variable yang nilainya berlaku relatif terhadap setiap orang. Saat kalender waktu menunjukkan tepat di posisi, Sabtu 19 Januari 2008, kegiatan hari itu telah saya dimulai dari Pk.12.30 WIBB mulai dari menempuh perjalanan menteng (Jak-Pus) ke Ciputat yang harus saya tempuh selama 2 jam (khusus hal ini hampir tiap pekan saya tempuh) dan baru berakhir sampai di titik semula sekitar Pk.22.00 WIBB (lebih sedikit setidaknya). Saya sangat bersyukur telah menjadikan sebuah ritme di kehidupan ini dengan seperti itu adanya sejak masa kuliah dulu, meski secara manusiawi, diri ini terkadang mendambakan sebuah suasana lain. Bukan dalam konteks sebuah pengejawantahan “Super sibuk”, namun pendekatan yang mendekati nilai valid adalah “sok sibuk” (lebih tepat saya memaknainya sebagai pencarian hakikat sesuatu terhadap banyak hal ). Dari masing-masing kondisi yang tercipta pun akan memperoleh sebuah pelajaran tersendiri, dan memori itu yang tidak bisa diekuivalenkan dengan rupiah seberapa besarnya, karena dia akan menjadi sejarah yang tidak akan terulang di masa yang sedang atau akan kita tempuh. Sebagaimana kata para cerdik cendekia, setiap zaman ada tantangannya masing-masing dan tentu juga pelaku yang berbeda-beda.

Hari itu, kegiatan pertama saya adalah menimba ilmu. Hal yang lumrah dalam bidang ini, ada sebuah transformasi pengetahuan dan terutama ilmu agama. Saat-saat di sinilah saya mendapatkan “new power” dari rutinitas harian yang dilakoni, semangat akan sebuah kesinambungan di kehidupan, sinkronisasi antara komponen-komponen dalam ritme kehidupan kita. Antara pekerjaan vs hiburan, perseteruan vs pertemanan, benci vs Cinta, sedih vs bahagia, umum vs khusus, ujung-ujungnya dunia vs akhirat, dapat saya terus tempa dan perbaharui. Terus terang saja, saya masih sangat-sangat miskin ilmu dalam hal ini, dan sebuah unsur “pemaksaan” harus saya berlakukan kepada diri ini, meski terkadang kehendak hati ini melawan tuannya. Seperti saat itu, saya merasakan seolah-olah teriknya mentari, penatnya 2 jam di perjalanan dan semua seolah terhapus dari sebuah keegoan dan kepicikan asumsi pikir ini). Satu, dua, tiga dan banyak hal lagi yang kudapat dari kalian, yang tidak terwakili memiliki keluarga dimana-mana, dan begitu tulusnya sebuah sikap itu ditunjukkan (sentuhan tangan kalian, sentuhan ilmu kalian, senyuman kalian, semua yang saya dapati dari kalian mampu membuat saya mengalahkan dengan rangkaian kata indah sebagaimana kadang imajinasiku mampu mendeskripsikan sesuatu yang masih terbatas jua.

Setelahnya, saya harus ke Puri Pamulang (rumah kakak) dengan diantar salah satu teman layaknya keluarga (red-analog seolah-olah keluarga saya dimana-mana-) mengambil beberapa barang pribadi yang saya perlukan di antara kompetisi percepatan waktu yang terus berjalan tak mampu kuhentikan. Waktu hampir menjelang maghrib dan saya pun menunaikan kewajiban dulu sebelum melanjutkan ke agenda berikutnya, “terbang” ke acara walimatul ursy teman di Fakultas Hukum UNPAD di daerah kalibata Jak-Sel. Woow...
funtastic man..!

Agenda terakhir dari rangkaian hari ini, yaitu ke resepsi (walimatul ursy’) yang sebenarnya masih abu-abu saya akan mampu mencapai tempat resepsi sebelum acara berakhir (Pk.21.00 wibb) dengan kondisi perjalanan yang macet dan semua dari awal kegiatan ini, saya tempuh dengan kendaraan massal roda empat yang nasib perjalananku tergantung sang pemacu mesin alias sopir (anda yang familiar dengan kondisi transportasi di jakarta, tentu sudah dapat menangkap maksud saya-telat barang sebentar, akan menunggu lebih dari spare waktu yang tak bisa dikompromi lagi) alias telat yang tidak tanggung-tanggung. Belum lagi, saya sendiri belum pernah ke daerah Kalibata, tempat resepsi dilangsungkan. Namun, berbekal informasi dari teman-teman kantor dan teman-teman rutin sabtu saya di ‘ujung berung” sana (bukan perwakilan dari salah satu nama daerah di Bandung, namun sebagai perumpamaan dari teman2 saya biasa menuntut ilmu di Ciputat, jauh bukan dari episentrum saya di Jakarta Pusat? Heee...). Alhamdulillah saya pun akhirnya mampu mencapai tempat resepsi, meski dalam perjalanan saya sempat salah turun dari transportasi massal ini dan harus menunggu ada sampai dapat. Hal yang masih saya belum berani lakukan di Jakarta ini, maklum orang "ndeso", adalah “Naik Taxi (karena kesendiriannya itu-halusinasi terjadinya tindakan tidak diinginkan-penipuan/pembunuhan/asusila, catatan saja meski ini dianggap berlebihan, namun masih memberikan peringatan kuat di saya)/ Bajaj karena roda tiganya yang kadang kalau “ngebut” kemiringannya seolah-olah mau rubuh tuh bajaj-nya dan semua yang dibebannya..Hii...serem khan?.

Di resepsi itu bak reuni bagi saya, bertemu satu per satu wajah yang sudah hampir 2 tahun tidak lagi saya lihat seperti semasa kuliah di kampus dulu dengan diselingi obrolan ringan. Bahagia bercampur haru kala itu (Khayalku pun membumbung kelangit ke-7, bagaimana kalau saya nikah nanti yach?hee...ngarang niy-tapi harus bersyukur kalau kesempatan itu saya dapatkan di dunia ini). Layaknya endemik pun sudah tercipta dan virus2 telah tersebar ke keluarga besarku sampai keponakan pun tahu akan konsep “minimalis sosialis” ini, hee..(rahasia boo...!). Setelah sesi berfoto-foto ria dengan mempelai dan seluruh barudak hukum 2001, saya pun memohon diri pamit lebih dulu karena waktu sudah larut (Pk. 21. lebih ).

Ambil taxi, tidak/ambil/tidak...datanglah sang penyelamat transportasi massal itu. Lagi-lagi dia yang setia memenuhi kepuasanku sebagai backpaker amatiran, dan benar saja aku temukan hal yang tak terduga di perjalanan. Saat saya sibuk SMS ke adek angkatan di FH UNPAD (mengonfirmasi kedatangan saya di acara reuni akbar alumni UNPAD, hari ini 20 Januari 2008), tak dinyana ada sebuah tangan “menoel” bahu saya dan spontan saya menengok ke belakang. Dan muncul di bungkahan telapak tangan seorang laki2 ini, sebuah tasbih berwarna biru muda dengan manik-manik modernnya telah siap dialihkan dari kekuasaannya ke saya. Lagi-lagi, antara terima/tidak/terima...dalam kebingungan seribu tanya yang tak kumengeti sang pemilik terus saja meyakinkan saya untuk menerimanya dan saya hanya menatap kejadian itu dalam sejuta keheranan. “ambil saja mbak, saya sudah tidak pantas memilikinya lagi dan tolong nanti mbak cuci, mbak keramas tasbih itu” berkali-kali ini diucapkan dalam sosoknya di balutan jaket bertudung kepala sambil dibuka tudung kepalanya di antara raut muka seolah tak ada lagi sebinar cahaya kesetiaan sebagai seorang hamba Tuhan sambil merubuhkan kepalanya ke bangku bagian atas tempat duduknya. Saya hanya saling pandang dan membisu dengan seorang perempuan yang duduk di samping saya dan meneruskan ketikan di SMS yang akan saya kirim setelah memasukkan tasbih ke kantong tas saya.

Satu di antara sejuta lukisan yang ingin kuraih dalam sketsa kehidupan ini meski kini masih dalam bentuk mozaic-mozaic kecil. Hal yang tak akan kutemui manakala saya di kampung (jarang skali transportasi massal menjadi pilihanku, ketergantungan pada fasilitas dan keluarga sangat mendominasi saya menjadi indivudi sendiri jauh dari segala jiwa “kerakyatan” dalam segala keterbatasan yang ada dengan diwakili hampir 50 % lebih penduduk negeri ini). Sampai di menteng pun masih disambut berjuta kesan, tegur sapa dan senyum para kolega (mulai dari pedagang martabak langganan di cut mutiah-“koq pulang malam mbak, dari kantor?”, atau Pasutri penjual voucher langganan juga, yang sang isteri sering ketemu saya di musim Ramadhan, saat sholat di mushola dekat kost-an, “pulang malam mbak?”, “iya, mari pak”, dan gadis usia 20-an, penjual nasi “Warteg” pun langganan, dengan komentarnya dilatar belakangin frekuensi hampir tiap hari ketemu saya-suatu waktu gadis ini bercerita ke saya bagaimana dulu dia pernah pakai jilbab sampai dia melepas jilbabnya, atau sangat antusias kalau saya beli nasi membawa buku bacaan yang berganti-ganti dan selalu bertanya, sampai saya menawarkan meminjaminya? Pun tertegun di pertemuan malam itu, “ Gini donk mbak, cantik dan tampak langsing” .Haaa...(padahal biasa saja), dia memank sangat polos, saya pun hanya menungging senyum sambil menawarkan martabak di tangan.

Hal yang terfikir di perjalanan adalah menemui suami kedua, untuk berbagi semua percikan-percikan sari kehidupan seharian, hari ini. Namun, penatnya tubuh sudah tak mampu lagi kusangga dalam keharusan tegaknya tugas-tugas tulang rusuk penyangganya. Roboh bersama mimpi di sebuah kesunyian damai kepulauan kapuk tidurku.

Waktu sebelum subuh menjelang telah mampu kutegakkan untuk mengais kasih keMahabesaran Sang Pencipta kehidupan ini, hingga anugerah semua yang ada kini mampu ketorehkan lagi di sederhananya rumah maya mungilku jua bersama kesetiaan suami keduaku ini. Semoga bisa menggugah diri ini khususnya untuk menatap dunia dengan lebih “cerdas” lagi. Mengenai nasib tasbih pemberian itu, masih tergeletak di sudut kamar ini, jika ada yang berminat saya akan menghadiahkan untuk anda dari seorang pengembara di bus yang saya pun tidak mengenalnya- smg ini bukan sebuah keputusasaan dari sang pemberi dalam perjuangan di kancah kehidupan ini dengan segudang asumsi di pikiran saya, anda tentang apa yang terjadi atau motif di balik pemberian ini-.

Catatan akhir :
Ø Buat Gilang dan Bianda, selamat menjalani kehidupan rumah tangga.
Ø Teh dita yang telah mengejawantah, layaknya kakak bagi saya, masih sempat khawatir akan keadaan saya di malam itu, sehingga masih menyempatkan kontak saya, sebelum akhirnya saya terlena dalam keseriusan SMS saya dan peristiwa kasih tasbih itu terjadi.
Ø Malam ini juga akan dijelang kehidupan baru, dari satu lagi sahabat di Kuliah, Purry dan Suami, nanti malam di Bidakara, semoga bisa sampai disana dengan baik-baik saja...hee..


Wallahu’alam Bishowab


2 comments:

dita desiana said...

Nuri si pemberani,,,Nuri the survival,,,
Tapi hati – hati Nuri tingkat kriminalitas di Jakarta tinggi.
Selama status masih single & kemana- mana masih tetap sendiri…
Waspadalahhh!!!! ;)

noerce said...

Terimaksih atas pengingatnya Bang Napi, eh (Non Napi)hii...Insyaalloh do'anya selalu...^_^