Sudah menjadi hal wajib sepertinya ketika detak jarum jam mulai bergerak dari Pk.23.59.59, tertanggal 31 desember 2007 berganti Pk.00.00.00, tertanggal 01 Januari 2008 dengan semarak kembang api atau bentuk apresiasi lain menandai terjadinya pergantian waktu. Apakah iya harus dilakukan seperti itu??? ^_~
Melihat reportase di beberapa stasion televisi hari ini, selasa 01 Januari 2008 begitu maraknya manusia di jagad bumi ini menyambut detik-detik datangnya pergantian waktu. Seperti di Korea, dengan pemukulan gong di beberapa kuil sebagai tanda pergantian waktu, di Jepang tak kalah religi, dikuil-kuil di lakukan pemukulan lonceng sebanyak 108 kali, sebagai lambang banyaknya dosa dan nafsu manusia, sehingga dengan dilakukan pemukulan sebanyak itu satu persatu dosa manusia terampuni, di Hongkong tak kalah semaraknya dari gedung-gedung pencakar langit berhamburan kembang api dengan kilauan pesona percikan apinya, dan tentu tak mau ketinggalan melewatkan momentum detik-detik pergantian tahun itu adalah Indonesia yang diwakili bertempat di Monumen Nasional (MONAS) Jakarta Pusat.
Masih di kalender tanggal 31 Desember 2007, kira-kira Pk.19.00 wibb, tepat saat saya melangkahkan kaki keluar dari area gedung Bimantara, saya seperti terjebak dalam lautan manusia yang berbondong-bondong menuju ke arah yang sama, yach...mind- saya langsung tertuju ke area yang lokasinya tak jauh dari kost atau pun tempat kerja saya, kira-kira hanya ditempuh 5-10 menit jalan menuju tempat yang akan menjadi sejarah pergantian tahun di Indonesia, MONAS. Baru sadar, ternyata saya saat itu telah berjalan melawan arah dengan lautan manusia, tua-muda, remaja-anak2 dengan ritme arah yang seritme, sehingga berkali-kali saya harus berhenti layaknya tikus terperangkap dalam jebakan sang majikan, karena begitu luar biasanya jumlah manusia di Jakarta ini tumpah ruah di tempat yang sama dalam waktu yang sama. Saya perkirakan tak ketinggalan warga di luar lingkaran Jakarta, seperti Depok, Bekasi, Bogor juga mungkin tak mau ketinggalan turut menyemarakkan pergantian waktu itu yang terlihat dari begitu banyaknya penumpang keluar dari stasion Gondangdia (kebetulan dekat juga dengan kost dan kantor), ini sama artinya dengan menambah volume manusia Jakarta yang sudah begitu luar biasa besar jumlahnya memenuhi lapangan MONAS. Wow...Wonderful..^_~
Kali pertama pengalaman pergantian waktu ini saya lewati di epicentrum segala rupa-rupa manusia yang disebut Indonesia tumpah, Jakarta tentunya. nattoku ikanai (=Nalarku tidak jalan). Sungguh energi macam apakah yang mampu menggerakkan manusia-manusia itu? Dengan segala pengorbanan dan resiko terburuk yang tak mudah untuk diprediksi bakalan menimpa pun mampu mengalahkan keurungan niat untuk tidak datang dan cukup memantau dari televisi? Sungguh luar biasa !!(dalam hal ini tafsiran saya serahkan ke masing-masing dari anda sekalian).
Masih dari reportase yang sama saya mendengar dari perhelatan akbar di MONAS itu, ada beberapa pingsan sebagai korban akibat sesaknya manusia di sana, belum lagi sampah-sampah yang terlupa atau sengaja ditinggalkan berserakan di mana-mana yang jumlahnya hampir 73.000 meter kubik (Catt. Biasanya sampah di area MONAS berkisar 10.000 meter kubik/hari) yang menambah daftar kekumuhan pengelolaan event seakbar itu. Dalam analisa SWOT sebuah pagelaran yang diprediksi bakalan mengundang minat massa dalam jumlah besar, harusnya hal-hal seperti itu sudah diantisipasi. Dalam hal ini saya tidak mengerti betul, siapa penanggung jawab event itu dan hal bagaimana pengelolaan event massal seperti itu dapat berjalan dengan baik begitu juga sesudahnya. Terlepas siapa penanggung jawabnya, memang peran cerdas dari audiens juga dituntut untuk mendukung suksesnya acara berjalan dengan aman dan tertib. Namun lagi-lagi, kita akan dihadapkan pada kebuntuan dalam memapingkan audiens yang mana yang memiliki kecerdasan sedemikian dahsyat sehingga sampai berfikir sejauh itu. Dan bisa jadi karena event ini dikemas nuansa ala rakyat (alias Gratis) mungkin hal-hal yang menyangkut keselamatan, keamanan dan ketertiban menjadi prioritas ujung terbawah. Oh Indonesia...Indonesia...!
Fenomena hiruk-pikuk dalam euforia event-event yang bernuansa ”happy fun/hiburan” di negeri ini masih juga tak berubah dan tak pernah berkaca pada sejarah kelabu yang terjadi sebelumnya, terulang dan seringkali terulang lagi. Mungkin kalau diibaratkan anak-anak, semakin dia melakukan berulang kali dia semakin tertawa puas (dalam konteks kedewaaan berfikir kalau itu dilakukan orang dewasa adalah sebuah ketololan, maaf!). Bagaimana kabar-kabar beberapa orang pingsan atau bahkan meninggal karena terinjak-injak atau kekurangan oksigen di pagelaran-pagelaran hiburan band di negeri ini. Jarang event-event di negeri ini dikemas dalam nuansa edukatif, pencerdasan yang bisa membantu keterpurukan citra bangsa ini dari kesan mayoritas pintar (mungkin saya salah satu korbannya yang masih terasa jauh dari kesan pintar, karena suguhan-suguhan di hampir televisi negeri ini jarang yang ada misi edukatif, semua hampir tontonan bernuansa komersialisasi demi keuntungan bisnis semata).
Sementara dalam waktu yang sama, di tempat lain yang jauh dari daerah saya di menteng, di TMII ada digelar acara bernuansa religi menyambut pergantian tahun. Banyak tokoh yang di hadirkan mengisi di acara tersebut, seperti Din Syamsudin, Arifin Ilham, Hidayat Nur Wahid, dan masih banyak tokoh-tokoh lain. Dengan kadar publikasi iklan di televisi yang tak kalah dengan acara di MONAS, ternyata acara di TMII kalah pamor di penonton tanah air ini. Tak ada satu pun pemberitaan reportase kegiatan di TMII. Saya, anda dan kita semua tentu sudah bisa menebak arah pembicaraan saya ke mana. Sudah bisa membuat sebuah perkiraan seperti apa gaya hidup masyarakat negeri ini. Begitulah rupa-rupa warga negeri republik ini melihat, memandang, menyikapi sebuah event apakah akan menjadi hiburan semata hanya untuk kepuasan asal membuat seneng dan hanya sekedar ajang melewatkan waktu pergantian dengan hura-hura asal terhibur diri atau sebagai pilihan hiburan itu akan membawanya larut dalam sebuah pemaknaan dari bagian mozaik kehidupan ini (selain hiburan juga tentunya ada makna yang didapat dari event itu) yang jauh dari kesan hanya sekedar hura-hura saja.
Tidak ada yang salah dalam setiap pilihan. Sudah terlalu banyak tersedia pilihan yang ada di sekitar kita, sekarang bolanya ada di setiap penentu pilihan itu, kita. Hanya saja saya melihat, belum adanya sebuah sistem keserempakan yang mendukung terciptanya sebuah kebaikan kolektif, ketertiban kolektif atau pun kecerdasan kolektif jika akhirnya semua dikembalikan ke masing-masing penentu pilihan. Nanti ujung-ujungnya yang akan terjadi adalah polarisari kelompok yang baik makin baik dengan komunitasnya sementara kelompok yang menganggap dirinya tidak baik atau memang terjebak dalam komunitas tidak baik juga akan semakin puas dengan keadaan yang ada. Jadi, kapan ketemunya dua unsur itu kalau masih sendiri-sendiri. sudah saatnya semua unsur itu harus diketemukan dalam banyak hal, termasuk dalam hal penyuguhan event-event. Jika masing-masing yang punya power masih asyik dengan kalkulasi-kalkulasi untung rugi dari segi ekonomi sempit, kapan majunya negeri ini??? Sungguh paradoksnya negeri ku tercinta ini. Sebuah persembahan di wajah kalendar pertama 2008. Bersama itu lebih indah...^_~
Saya sendiri, malam pergantian tahun asyik nongkrongin Naga Bonar 2 di salah satu televisi swasta, sambil membaca buku Ketika Cinta Bertasbih 2. Hanya bertahan sampai kira-kira Pk.22.30 keduanya asyik membiusku dalam nuansa jelang pergantian waktu...meski akhirnya keduanya harus rela dicampakkan tanpa dihiraukan tuannya. Keasyikan buaian dan hembusan lembut dayang-dayang di plesiran pulau kapuk, ternyata lebih melenakan sang tuan menikmati indah mimpi-mimpinya...^_~
Semangat baru...Harapan baru!
Wallahu alam bi showab!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
butuuulll
nonton nagabonar gak sampai habiiiis... eh udah ketiduran... jam masih jam 11 :)
hehheheheh
sou ka...OO begitu yach bunda?bearti Qta sama donk..Yg utamanya, makacih saya ucapkan atas kunjungan bunda bersedia mampir di gubug sederhana saya ini...^_~
teramat jarang saya membaca posting nur seperti yang satu ini, begitu "keras". membaca tulisan di atas, saya jadi inget salah satu reportase cek & ricek tgl 1 jan. 08 yang mengulas perayaan tahun baru di monas dengan mengontraskan dgn kondisi sebagian warga indonesia yg sedang dilanda musibah banjir.
Sebenarnya ini hanyalah bentuk apresiasi ketidakberdayaan saya mengubah sebuah pola birokrasi kebijakan...(hehe, sok penguasa&nyambung ndak yach?)...Hny lewat tulisan ini smg bisa menggugah saya pribadi terutamanya dan pembaca umumnya utk bisa memulai dr diri sendiri membuat pola baru menyambut sebuah datangnya event (mgkn tmsk tahun baru)...smg akan lebih baik..^_^
Post a Comment