Suatu ketika selagi masih berada di Madinah, Rasulullah SAW bermimpi bahwa beliau bersama para sahabat memasuki Masjidil-Haram, mengambil kunci Ka’bah, melaksanakan thawaf dan umrah, sebagian sahabat ada yang mencukur dan sebagain lain ada yang memendekkan rambutnya Beliau menyampaikan mimpinya kepada para sahabat dan mereka tampak senang, karena menurut perkiraan pada tahun itu pula mereka bisa memasuki Makkah. Tidak lama kemudian beliau menyatakan hendak melakukan umroh. Maka mereka melakukan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh.
Informasi tersebut ternyata begitu cepat terdengar oleh Quraisy dan mereka mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid Bin Al-Walid untuk melakukan berbagai upaya guna menghalang-halangin kaum muslimin memasuki Masjidil-Haram. Sehingga Rasululloh harus mengalihkan jalur perjalanan untuk menghindari bentrokan fisik meski harus mengambil jalur yang sulit dan berat di antara celah-celah gunung melewati Al-Hamsy menuju Tsaniyyatul-Murar sebelum turun ke hudaibiyah.
Upaya Quraisy tersebut belum juga berujung kata menyerah, beberapa utusan pun dikirim untuk melancarkan misinya, seperti Urwah bin Mas’ud Ats-yang akhirnya harus berhadapan dengan keponakannya sendiri Al-Mughirah bin Syu’bah yang tak lain adalah ajudan Rasululloh yang siap membelanya kapan pun. Negosiasi yang dilakukan pihak Quraisy di level pimpinan, ternyata tidak sinergis dengan para pemudanya yang dengan semangat membara terus memancing bara peperangan dengan menyusup ke barisan kaum muslimin. Muhammad bin Maslamah yang bertugas sebagai komandan berhasil menangkap mereka dan setelah diserahkan ke Rasulullah, beliau pun memaafkan mereka karena sejak semula menginginkan suasana damai (Q.S. Al-Fath:24).
Sarana Diplomasi
Sejak peristiwa itu, Rasululloh menegaskan kepada Quraisy sikap dan tujuan beliau dalam perjalanan kali ini, adalah bukan untuk berperang, tapi datang hendak melaksanakan umrah. Awalnya Umar bin Khathab yang didaulat, namun menyadari posisinya di Makkah yang tidak mendapat dukungan dari sanak keluarganya Bani Ka’b, maka dipilihlah Ustamn bin Affan untuk menyampaikan maksud tersebut kepada Quraisy. Perjalanan ke arah negosiasi ini pun sempat menimbulkan isu terbunuhnya Ustman karena cukup lamanya Quraisy menahan Ustman bin Affan di Makkah. Isu ini terdengar juga oleh Rasulullah dan beliau bersabda, “kita tidak akan beranjak sebelum membereskan urusan dengan mereka” dan terjadilan Baiat Ridhwan (karena dilaksanakan di bawah sebuah pohon), dan setelah proses baiat itu selesai, Utsman bin Affan muncul dan ikut berbaiat.
Posisi Quraisy yang demikian terjepit telah disadari dan diutuslah Suhail bin Amr guna mengadakan diplomasi, yang intinya menegaskan kepada Rasululloh untuk pulang ke Madinah. Setelah bertemu Rosul, kedua belah pihak menyepakati klausul-klausul perjanjian sebagai berikut :
1. Rasulullah harus pulang ke Madinah Tahun ini dan tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun depan bersama orang-orang muslim, dan mereka diberi jangka waktu 3 hari berada di Makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa di bawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan dan Quraisy tidak menghalangi dengan cara apa pun.
2. Gencatan senjata kedua belah pihak selama 10 tahun dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Barangsiapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya begitu juga yang akan bergabung dengan pihak Quraisy, dan kabilah yang bergabung tersebut menjadi bagian dari pihak tersebut, sehingga penyerangan yang ditujukan kepada kabilah tertentu, dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya, maka dia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan siapa pun dari pihak Muhammad yang mendatangi Quraisy tanpa izin walinya, maka dia tidak boleh dikembalikan kepadanya.
Setelah perjanjian selesai ditulis, Rasulullah memerintahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan mencukur rambut sebagai tanda umroh, namun hal ini tidak dilaksanakan oleh para sahabat. Akhirnya atas saran Ummu Salamah, beliau melakukannya sendiri dan akhirnya diikuti oleh sahabat yang lain.
Pelajaran dari Klausul-Klausul Perjanjian
Kemenangan yang amat besar bagi kaum muslimin setelah sekian lama tidak diakui oleh Quraisy bahkan hendak diberantas sampai akar-akarnya, di samping orang-orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi menghadapi kaum muslimin. Dikukuhkan dalam Firman-Nya Q.S. Al-Fath:1, “sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” Berikut hal-hal yang dapat dipetik dari per-klausulnya:
1. Klausul ketiga menunjukkan pihak Quraisy lupa terhadap kedudukannya sebagai pemegang roda kehidupan dunia dan kepemimpinan agam, mereka lebih memikirkan keselamatan diri mereka sendiri. Artinya kalau pun semua orang baik Arab maupun selain Arab masuk Islam, mereka tidak memedulikannya dan tidak akan ikut campur, hal ini merupakan kegagalan yang telak bagi Quraisy dan kemenangan bagi pihak muslim. Terbukti jumlah kaum muslimin yang tidak lebihd ari 3000 orang sebelum genjatan senjata, semakin bertambah setelah masa dua tahun menjadi sepuluh ribu.
2. Klausul kedua, bahwa perjanjian genjatan senjata yang disepakati berlaku selama sepuluh tahun, tentu akan membatasi kedengkian dan dendam mereka. Lagi-lagi ini adalah kemenangan yang besar karena pihak Quraisy lah yang mengawali peperangan.
3. Klausul pertama merupakan pagar pembatas bagi Quraisy, sehingga mereka tidak bisa menghalangi seseorang memasuki Masjidil-Haram, karena pembatasan yang disepakati hanya selama satu tahun.
4. Klausul keempat, celah ini sebenarnya tidak banyak berarti dan tidak membahayakan kaum muslim. Karena bagi penduduk Makkah yang masuk Islam, kalau pun tidak bisa datang ke Madinah, toh bumi Allah itu amat luas.
Beberapa tokoh Quraisy masuk Islam
Awal tahun 7 H setelah gencatan senjata, beberapa tokoh Quraisy masuk Islam, seperti Amr bin Al-Ash, Khalid bin Al-Walid dan Utsman bin Thalhah.
Wallahu'alam...^^
2 comments:
Makasih infonya, kebetulan pas butuh..
izin copas ya buk.
Lg butuh neh tuk bahan kuliah pkanan.
Hehehe
Post a Comment